Minggu, 20 April 2008

Fiqh Prioritas

Fiqh Prioritas

Dr. Yusuf Al-Qardhawi

Fiqh prioritas (fiqh al-awlawiyyat) atau fiqh urutan pekerjaan. Dengan memperlajari ilmu fiqh ini membedakan apa yang seharusnya didahulukan oleh agama dan apa pula yang seharusnya diakhirkan; apa yang dianggap berat dan apa pula yang dianggap ringan; dan apa yang dihormati oleh agama dan apa pula yang disepelekan olehnya.

Hubungan Antara Fiqh Prioritas Dan Fiqh Pertimbangan

Peran terpenting yang dapat dilakukan oleh fiqh pertimbangan ini ialah:

1) Memberikan pertimbangan antara berbagai kemaslahatan dan manfaat dari berbagai kebaikan yang disyariatkan.

2) Memberikan pertimbangan antara berbagai bentuk kerusakan, madharat, dan kejahatan yang dilarang oleh agama.

3) Memberikan pertimbangan antara maslahat dan kerusakan, antara kebaikan dan kejelekan apabila dua hal yang bertentangan ini bertemu satu sama lain.

Fiqh pertimbangan --dan pada gilirannya, fiqh prioritas--mengharuskan kita:

1) Mendahulukan dharuriyyat atas hajjiyyat, apalagi terhadap tahsinat;

2) Dan mendahulukan hajjiyyat atas tahsinat dan kamaliyyat.

Dharuriyyat itu ada lima macam: agama, jiwa, keturunan, akal, dan harta kekayaan. Sebagian ulama menambahkan dharuriyyat yang keenam, yaitu kehormatan.

Volume, intensitas, dan bahaya yang ditimbulkan oleh kerusakan dan madharat itu berbeda-beda tingkatannya. Atas dasar inilah, para fuqaha menetapkan sejumlah kaidah yang baku mengenai hukum yang penting; antara lain.

"Tidak ada bahaya dan tidak boleh membahayakan."

"Suatu bahaya sedapat mungkin harus disingkirkan."

"Suatu bahaya tidak boleh disingkirkan dengan bahaya yang sepadan atau yang lebih besar."

"Bahaya yang lebih ringan, dibandingkan dengan bahaya lainnya yang mesti dipilih, boleh dilakukan"

"Bahaya yang lebih ringan boleh dilakukan untuk menolak bahaya yang lebih besar."

"Bahaya yang bersifat khusus boleh dilakukan untuk menolak bahaya yang sifatnya lebih luas dan umum."

Apabila dalam suatu perkara terdapat manfaat yang lebih besar, maka perkara itu boleh dilakukan, sedangkan kerusakan kecil yang ada padanya dapat diabaikan. Di antara kaidah penting dalam hal ini ialah: "Menolak kerusakan harus didahulukan atas pengambilan manfaat."

Kaidah ini kemudian disempurnakan dengan kaidah lain yang dianggap penting:

"Kerusakan yang kecil diampuni untuk memperoleh, kemaslahatan yang lebih besar."

"Kerusakan yang bersifat sementara diampuni demi kemaslahatan yang sifatnya berkesinambungan."

"Kemaslahatan yang sudah pasti tidak boleh ditinggalkan karena ada kerusakan yang baru diduga adanya."


Fiqh Prioritas juga berkaitan erat dengan Fiqh Tujuan Syari'ah. Semua orang sepakat bahwa hukum-hukum syari'ah secara menyeluruh memiliki alasan, dan juga terdapat tujuan tertentu yang ada di balik bentuk lahiriah hukum syari'ah yang harus dilaksanakan itu; karena sesungguhnya di antara nama-nama Allah ialah al-Hakim (Maha Bijaksana) , yang disebut di dalam al-Qur'an al-Karim lebih dari sembilan puluh kali. Allah yang Maha Bijaksana tidak akan membuat syari'ah agama tanpa tujuan, sebagaimana Dia tidak akan menciptakan sesuatu dengan sia-sia.

Bahkan, bentuk ibadah mahdhah (ibadah yang murni) juga mempunyai tujuan-tujuan tertentu, yang kadang-kadang alasan ibadah itu disebutkan oleh al-Qur'an: Shalat misalnya, adalah untuk mencegah perbuatan keji dan mungkar [al-'Ankabut: 45]; zakat untuk membersihkan dan menyucikan diri manusia [at-Taubah:103]; puasa untuk menjadikan manusia bertaqwa [al-Baqarah, 183]; dan ibadah haji untuk menyaksikan berbagai manfaat, dan menyebut nama Allah [al-Hajj, 28].

Tidak diragukan lagi bahwa fiqh prioritas memiliki hubungan yang erat dengan fiqh nash syari'ah yang bersifat parsial. Di mana nash yang parsial ini berkaitan dengan tujuan secara umum, kaidah-kaidah umum, sehingga yang parsial ini dapat dikembalikan kepada yang umum, dan sebaliknya, masalah-masalah cabang dapat dikembalikan kepada yang pokok.

Yang paling penting di sini ialah membedakan antara nash yang bersifat qath'i dan nash yang bersifat zhanni, antara nash yang muhkam dan nash yang mutasyabih. Nash yang zhanni mesti dipahami berdasarkan yang qath'i, dan nash yang mutasyabih mesti dipahami dalam kerangka nash yang muhkam

Prioritas

Prioritas Ilmu atas Amal

Prioritas Pemahaman atas Hafalan

Prioritas Maksud dan Tujuan atas Penampilan Luar

Di antara persoalan yang termasuk di dalam fiqh prioritas ini ialah tujuan. Yakni menyelami pelbagai tujuan yang terkandung di dalam syari'ah, mengetahi rahasia dan sebabsebabnya, mengaitkan antara satu sebab dengan sebab yang lain, mengembalikan cabang kepada pokoknya, mengembalikan hal-hal yang parsial kepada yang universal, dan tidak menganggap cukup mengetahui penampakan dari luar, serta jumud di dalam memahami nash-nash syari'ah tersebut.

Contoh dalam penciptaan. Allah SWT berfirman:

"... Ingatlah, menciptakan dan memerintah hanyalah hak Allah..." [al A'raf: 54]

Karena Dia tidak pernah menciptakan sesuatu dengan sia-sia, maka juga tidak pernah menetapkan syari'ah yang kaku dan tidak berguna.

Orang-orang yang bijak berkata tentang apa yang diciptakan oleh Tuhan

"... Ya Tuhan kami, tiadalah engkau menciptakan ini dengan sia-sia, Maha Suci engkau, maka peliharalah kami dari siksa neraka." (Ali 'Imran: 151)

Kita juga dapat mengatakan, "Wahai Tuhan kami, sesungguhnya Engkau tidak menetapkan syari'ah ini kecuali dengan hikmah yang terkandung di dalamnya."

Memprioritaskan Persoalan Yang Ringan Dan Mudah Atas Persoalan Yang Berat Dan Sulit

Di antara prioritas yang sangat dianjurkan di sini, khususnya dalam bidang pemberian fatwa dan da'wah ialah prioritas terhadap persoalan yang ringan dan mudah atas persoalan yang berat dan sulit.

Mengubah Fatwa Karena Perubahan Waktu Dan Tempat

Perubahan kondisi manusia, baik yang terjadi karena perjalanan waktu, perkembangan masyarakat, maupun terjadinya hal-hal yang sifatnya darurat, sehingga para ahli fiqh yang biasanya mengeluarkan fatwa harus mengubah fatwa yang telah lalu untuk disesuaikan dengan perubahan zaman, tempat, tradisi dan kondisi masyarakatnya; berdasarkan petunjuk para sahabat dan apa yang pernah dilakukan oleh para khulafa rasyidin, suri tauladan yang kita disuruh untuk mengambil petunjuk dari 'sunnah' mereka dan berpegang teguh kepadanya. Yaitu sunnah yang sesuai dengan sunnah Nabi saw dan dapat diterima oleh al-Qur'an; sebagaimana yang pernah kami jelaskan dalam risalah kecil kami yang berjudul 'Awamil al-Sa'ah wa al-Murunah fi al-Syari'ah al-Islamiyyah (Faktor-faktor Keluasan dan Keluwesan dalam Syariat Islam).

PRIORITAS

  1. Memprioritaskan Kualitas atas Kuantitas
  2. Prioritas Ilmu Atas Amal
  3. Prioritas Pemahaman Atas Hafalan
  4. Prioritas Maksud dan Tujuan Atas Penampilan Luar
  5. Prioritas Ijtihad Atas Taqlid
  6. Prioritas Studi dan Perencanaan Pada Urusan Dunia
  7. Prioritas Dalam Pendapat-Pendapat Fiqh

PrioritaS FATWA DAN DAKWAH

  1. Memprioritaskan Persoalan yg Ringan & Mudah Atas Persoalan yg Berat & Sulit
  2. Pengakuan Atas Kondisi Darurat
  3. Mengubah Fatwa Karena Perubahan Waktu dan Tempat
  4. Menjaga Sunnah Pentahapan (Marhalah) Dalam Da'wah
  5. Meluruskan Budaya Kaum Muslimin
  6. Ukuran Yang Benar: Perhatian Terhadap Isu-isu Yang Disorot Oleh Al-Qur'an

PrioritaS BIDANG AMAL

  1. Prioritas Amal Yang Kontinyu Atas Amal Yang Terputus-Putus
  2. Prioritas Amalan Yang Luas Manfaatnya Atas Perbuatan Yang Kurang Bermanfaat
  3. Prioritas Terhadap Amal Perbuatan yg Lebih Lama Manfaatnya & Lebing Langgeng Kesannya
  4. Prioritas Beramal Pada Zaman Fitnah
  5. Prioritas Amalan Hati Atas Amalan Anggota Badan
  6. Perbedaan TIngkat Keutamaan Sesuai dg Tingkat Perbedaan Waktu, Tempat & Keadaan

PrioritaS PERKARA

  1. Prioritas Perkara Pokok Atas Perkara Cabang
  2. Prioritas Fardhu Atas Sunnah dan Nawafil
  3. Prioritas Fardhu 'Ain Atas Fardhu Kifayah
  4. Prioritas Hak Hamba Atas Hak Allah Semata-mata
  5. Prioritas Hak Masyarakat Atas Hak Individu
  6. Prioritas Wala' (Loyalitas) Kepada Umat Atas Wala' Terhadap Kabilah & Individu

PrioritaS PERKARA DILARANG

  1. Prioritas Dalam Perkara Yang Dilarang
  2. Membedakan Antara Kekufuran, Kemusyrikan & Kemunafikan, Yang Besar & Yang Kecil
  3. Kemaksiatan Besar Yang Dilakukan Oleh Hati Manusia
  4. Bid'ah Dalam Aqidah
  5. Syubhat
  6. Makruh

PrioritaS BIDANG REFORMASI

  1. Memperbaiki Diri Sebelum Memperbaiki Sistem
  2. Pembinaan Sebelum Jihad
  3. Mengapa Pembinaan Lebih Diberi Prioritas
  4. Prioritas Perjuangan Pemikiran

FIQH PrioritaS WARISAN PEMIKIRAN

  1. Fiqh Prioritas Dalam Warisan Pemikiran Kita
  2. Imam al-Ghazali Dan Fiqf Prioritas
  3. Para Ulama Yang Punya Kepedulian Terhadap Fiqh Prioritas

FIQH PrioritaS DI Z AMAN MODERn

Pandangan Para Pembaru Tentang Fiqh Prioritas

Para Ulama berbeda-beda dalam memprioritaskan perjuangannya. Mereka priorotaskan sesuai dengan kebutuhan zaman mereka. Diantara mereka ada yang memprioritaskan tauhid, jihad, pendidikan dan lain-lainnya. Diantara ulama' yang berjuang tersebut, yaitu:

o Imam Muhammad Bin Abd Al-Wahhab

Prioritas dalam da'wah beliau di Jazirah Arabia ialah pada bidang aqidah, untuk menjaga dan melindungi tauhid dari berbagai bentuk kemusyrikan dan khurafat yang telah mencemari sumbernya dan membuat keruh kejernihannya. Dia menulis berbagai buku dan risalah, serta menyebarkan dan mempraktekkannya dalam rangka menghancurkan berbagai fenomena kemusyrikan.

o Az-Za'im Muhammad Ahmad Al-Mahdi

Beliau adalah seorang tokoh dari Sudan. Prioritas perjuangannya ialah mendidik para pengikutnya bersikap keras dan melepaskan diri dari penjajahan Inggris dan antek-anteknya.

o Sayyid Jamaluddin

Prioritas beliau ialah membangunkan ummat, dan menggerakkannya untuk mengusir penjajah, yang merupakan bahaya bagi kehidupan agama dan dunianya. Di samping itu, dia menyadarkan mereka bahwa ummat Islam adalah satu, memiliki kiblat, aqidah, arah dan tujuan hidup yang satu pula.

o Imam Muhammad Abduh

Imam Muhammad Abduh sangat peduli dengan pembebasan pemikiran kaum Muslim dari belenggu taqlid, dan mengaitkannya dengan sumber-sumber Islam yang jernih; sebagaimana ditegaskan sendiri tentang dirinya dan tujuan-tujuannya: Suaraku lantang dalam melakukan da'wah kepada dua perkara yang besar.

Pertama, membebaskan pikiran ummat dari belenggu taqlid, dan memahami ajaran agama melalui jalan ulama-ulama salaf sebelum munculnya berbagai perbedaan pendapat, serta menggali pengetahuan dengan kembali kepada rujukan-rujukan utamanya.

Kedua, memperbaiki gaya bahasa Arab.

o Imam Hasan Al-Banna

Imam Syahid Hasan al-Banna, memberi perhatian yang sangat besar terhadap upaya meluruskan pemahaman Islam, ummat Islam dan mengembalikan hal-hal yang telah dibuang oleh orang-orang yang ter-Barat-kan dan para pengikut sekularisme.

o Imam Al-Maududi

Imam Abu al-A'la al-Maududi memberikan prioritas perjuangannya dalam memerangi "jahiliyah" modern, mengembalikan manusia kepada agama dan ibadah dengan maknanya yang komprehensif, tunduk kepada kekuasaan Allah saja, dan menolak kekuasaan segala makhluk-Nya, bagaimanapun kedudukan dan tugas mereka. Baik mereka sebagai pemikir, ataupun sebagai pemegang kendali politik. Dia juga memberikan perhatian kepada pembentukan peradaban Islam yang eksklusif, menolak pemikiran Barat dalam bidang peradaban, ekonomi, politik, kehidupan individu, keluarga dan masyarakat. Metode seperti ini harus dipergunakan untuk mengadakan revolusi atau perubahan secara besar-besaran. Pandangannya tercermin dalam berbagai buku dan risalahnya, yang mengungkapkan tentang filsafat da'wahnya kepada Islam dan ide-ide pembaruannya. Jamaahnya mengapresiasi dan menyebarkan pikiran-pikirannya.

o As-Syahid Sayid Quthub

As-Syahid Sayid Quthub memberikan prioritas pada aqidah sebelum terciptanya tatanan hukum Islam dan terwujudnya kekuasaan Allah di muka bumi.

o Ustadz Muhammad Al-Mubara

Di antara tokoh pembaru Islam yang tergerak hatinya untuk menerapkan fiqh prioritas ialah seorang tokoh pemikir Islam dari Syria yang terkenal. Ia adalah Ustadz Muhammad Mubarak. Ia berbicara tentang satu sisi yang sangat penting dalam perkara ini dengan mendalam dalam bukunya, al-Fikr al-Islami al-Hadits fi Muwajahah al-Afkar al-Gharbiyyah, yang pada hakikatnya merupakan kumpulan kajian dan kuliah yang ia tulis atau ia sampaikan pada berbagai kesempatan.

o Syaikh Al-Ghazali

Di antara ulama yang memberikan perhatian besar kepada fiqh prioritas melalui pandangan, pemikiran, dan penjelasan yang diberikannya ialah seorang juru da'wah besar, Syaikh Muhammad al-Ghazali. Ia telah memberikan perhatian yang sangat besar kepada masalah ini dalam buku-buku yang ditulisnya, terutama buku-buku yang ditulis menjelang akhir hayatnya. Hal itu ia lakukan dan ia beri perhatian karena pengalamannya dalam melakukan da'wah di tengah-tengah manusia yang mengaku sebagai orang Islam dan juru da'wah Islam, yang menjungkirbalikkan pohon Islam.

Mereka menjadikan pohon dan akarnya yang kuat sebagai ranting-ranting yang lemah, dan menjadikan ranting-rantingnya sebagai dedaunan yang menghembuskan angin, dan menjadikan daun-daunnya sebagai akar, yang bertumpu kepadanya seluruh pemikiran, perhatian, dan pekerjaan.

الحمد لله رب العالمين

SUJUD SAHWI

SUJUD SAHWI

Oleh: Syaikh Muhamad bin Shalih Al-Utsaimin


Pertanyaan:

Syaikh Muhamad bin Shalih Al-Utsaimin ditanya: "Kapan wajibnya sujud sahwi, sebelum atau sesudah salam..?"

Jawaban:

Sujud sahwi adalah dua kali sujud yang dilakukan orang shalat untuk menambal kekurang sempurnaan shalatnya lantaran terkena lupa. Sebab kelupaan ada tiga; kelebihan, kekurangan dan keraguan.

Kelebihan (tambah): Jika yang shalat sengaja menambahkan berdiri, duduk, ruku' atau sujud, batal-lah shalatnya.

Jika ia lupa akan kelebihannya dan baru sadar ketika sudah selesai, maka ia wajib sujud sahwi. Jika sadarnya itu terjadi di tengah-tengah shalat, hendaklah ia kembali ke shalatnya lalu sujud sahwi. Contohnya, jika ia lupa shalat Zuhur lima raka'at dan baru ingat sedang tasyahud, hendaklah ia sujud sahwi dan salam. Jika ingatnya itu di tengah-tengah raka'at kelima, hendaklah langsung duduk tasyahud dan salam. Setelah itu sujud sahwi dan salam.

Cara di atas bersumber kepada hadits dari Abdullah bin Mas'ud yang menerangkan bahwa Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam telah shalat Zhuhur lima rakaat. Lalu ditanyakan apakah ia menambahkan raka'at shalat? Maka setelah para sahabat menjelaskan bahwa beliau shalat lima raka'at, beliau langsung bersujud dua kali setelah salam (shalat). Riwayat lain menjelaskan bahwa ketika itu beliau berdiri membelahkan kedua kakinya sambil menghadap kiblat lalu sujud dua kali dan salam.

Sujud sahwi terkadang dilakukan sebelum salam dalam dua tempat:

1. Jika seseorang kekurangan dalam shalatnya, berdasarkan hadits Abdullah bin Buhainah Radhiyallahu 'anhu bahwa Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam sujud sahwi sebelum salam ketika lupa tasyahud awal.

2. Ketika yang shalat ragu-ragu atas dua hal dan tak mampu mengambil yang lebih diyakininya, seperti yang dijelaskan oleh hadits Abi Sa'id al-Khudri Radhiyallahu 'anhu tentang orang yang ragu-ragu dalam shalatnya, apakah tiga atau empat raka'at. Ketika itu, orang tersebut disuruh Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam agar sujud dua kali sebelum salam. Hadits-hadits yang barusan telah dikemukakan lafaznya dalam bahasan sebelumnya.

Sedangkan sujud sahwi sesudah salam, dilakukan dalam dua hal:

1. Ketika kelebihan sesuatu dalam shalat sebagaimana yang terdapat dalam hadits Abdullah bin Mas'ud tentang shalat Zhuhur lima raka'at yang dialami Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam. Beliau sujud sahwi dua kali ketika sudah diberitahu oleh para sahabat. Ketika itu beliau tidak menjelaskan bahwa sujud sahwinya dilakukan setelah salam (selesai) karena beliau tidak tahu kelebihan. Maka hal ini menunjukkan bahwa sujud sahwi karena kelebihan dalam shalat dilaksanakan setelah salam shalat, baik kelebihannya itu diketahui sebelum atau sesudah salam. Contoh lain, jika orang lupa membaca salam padahal shalatnya belum sempurna, lalu ia sadar dan menyempurnakannya, berarti ia telah menambahkan salam di tengah-tengah shalatnya. Karena itu, ia wajib sujud sahwi setelah salam berdasarkan hadits Abu Hurairah yang menerangkan bahwa Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam pernah shalat Zuhur atau Ashar sebanyak dua raka'at. Maka setelah diberitahukan, beliau menyempurnakan shalatnya dan salam. Dan setelah itu sujud sahwi dan salam.

2. Jika ragu-ragu atas dua hal namun salah satunya diyakini. Hal ini telah dicontohkan dalam hadits Ibnu Mas'ud sebelumnya.

Jika terjadi dua kelupaan, yang satu terjadi sebelum salam dan yang kedua sesudah salam, maka menurut ulama yang terjadi sebelum salamlah yang diperhatikan lalu sujud sahwi sebelum salam.

Contohnya, umpamanya seseorang shalat Zuhur lalu berdiri menuju raka'at ketiga tanpa tasyahud awal. Kemudian pada raka'at ketiga itu ia duduk tasyahud karena dikiranya raka'at kedua dan ketika itu ia baru ingat bahwa ia berada pada raka'at ketiga, maka hendaklah ia bediri menambah satu rakaat lagi, lalu sujud sahwi serta salam.

Yakni dari contoh di atas diketahui bahwa lelaki tersebut telah tertinggal tasyahud awal dan sujud sebelum salam. Ia-pun kelebihan duduk pada raka'at ketiga dan hendaknya sujud (sahwi) sesudah salam. Oleh sebab itu, apa yang terjadi sebelum salam diunggulkan. Wallahu 'alam

[Fatawa Syaikh Muhammad Al-Shaleh Al-'Utsaimin, edisi Indonesia 257 Tanya Jawab, Fatwa-Fatwa Al-'Ustaimin, oleh Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin, terbitan Gema Risalah Press, hal. 146-148 alih bahasa Prof.Drs.KH Masdar Helmy]

KACAUNYA PIKIRAN KETIKA SHALAT

Oleh: Syaikh Abdul Aziz bin Baz

Pertanyaan:

Syaikh Abdul Aziz bin Baz ditanya: Ketika saya hendak shalat, saya sedang kacau pikiran dan banyak yang dipikirkan, dan rasanya saya tidak begitu sadar terhadap diri saya sendiri kecuali setelah salam, lalu saya mengulangi lagi, namun saya rasakan seperti semula, sampai-sampai saya lupa tasyahud awal dan tidak tahu lagi berapa rakaat yang telah saya kerjakan. Hal ini semakin menambah kekhawatiran dan rasa takut saya kepada murka Allah, kemudian saya sujud sahwi. Saya mohon bimbingannya, dan saya haturkan terima kasih.

Jawaban:

Bisikan itu berasal dari syetan, yang wajib bagi anda adalah memelihara shalat, konsentrasi dan thuma’ninah dalam melaksanakannya sehingga anda dapat melaksanakannya dengan penuh kesadaran. Allah Subhanahu wa Ta’ala telah berfirman.

“Artinya: Sesungguhnya beruntunglah orang-orang yang beriman, (yaitu) orang-orang yang khusyu’ dalam shalatnya” [Al-Mukminun: 1-2]

Ketika Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam melihat orang yang tidak sempurna shalatnya dan tidak thuma’ninah dalam melaksanakannya, beliau menyuruhnya untuk mengulangi shalatnya, beliaupun bersabda.

“Artinya: Jika engkau hendak mendirikan shalat, sempurnakanlah wudhu, lalu berdirilah menghadap kiblat kemudian bertakbirlah (takbiratul ihram), lalu bacalah ayat-ayat Al-Qur’an yang mudah bagimu, kemudian ruku’lah sampai engkau tenang dalam posisi ruku, lalu bangkitlah (berdiri dari ruku’) sampai engkau berdiri tegak, kemudian sujudlah sampai engkau tenang dalam posisi sujud, lalu bangkitlah (dari sujud) sampai engkau tenang dalam posisi duduk. Kemudian, lakukan itu semua dalam semua shalatmu” [Al-Bukhari, kitab Al-Adzan 757, Muslim kitab Ash-Shalah 397]

Jika anda sadar bahwa anda sedang shalat di hadapan Allah dan bemunajat kepadaNya, maka hal itu akan mendorong anda untuk khusyu’ dan konsentrasi ketika shalat, syetanpun akan menjauh dari anda sehingga selamatlah anda dari bisikkannya. Jika dalam shalat anda terasa banyak godaan, meniuplah tiga kali ke samping kiri dan memohonlah perlindungan Allah tiga kali dari godaan syetan yang terkutuk, insya Allah hal ini akan membebaskan anda.

Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah menyuruh salah seorang sahabatnya melakukan itu, ketika orang tersebut berkata, “Wahai Rasulullah, sesungguhnya syetan telah menyelinap diantara diriku dan shalatku serta bacaanku, ia mengacaukan shalatku” [Muslim, kitab As-Salam 2203 dari hadits Utsman bin Abu Al-Ash]

Jadi, anda tidak perlu mengulangi shalat karena godaan, akan tetapi hendaknya anda sujud sahwi jika anda telah melakukan apa yang diwajibkan itu. Misalnya, anda tidak melakukan tasyahud awal karena lupa, atau tidak membaca tasbih ketika ruku’ atau sujud karena lupa, atau anda ragu apakah tiga raka’at atau empat raka’at ketika shalat Zhuhur umpamanya, maka anggaplah itu tiga raka’at, lalu sempurnakanlah shalat, kemudian sujud sahwi dua kali sebelum salam. Jika dalam shalat Maghrib anda ragu apakah baru dua raka’at atau sudah tiga raka’at, maka anggaplah itu baru dua raka’at lalu sempurnakan, kemudian sujud sahwi dua kali sebelum salam, karena demikianlah yang diperintahkan Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam.

Semoga Allah melindungi anda dari godaan setan dan menunjuki anda kepada yang diridahiNya. [Kitab Ad-Da’wah, hal 76, Syaikh Ibnu Baz]

[Disalin dari buku Al-Fatawa Asy-Syar’iyyah Fi Al-Masa’il Al-Ashriyyah Min Fatawa Ulama Al-Balad Al-Haram, edisi Indonesia Fatwa-Fatwa Terkini, hal 188-190 Darul Haq

HUKUM BERMAIN CATUR

HUKUM BERMAIN CATUR

Satronji atau nardasyir atau yang dikenal di zaman sekarang dengan bermain catur merupakan adat dan kebiasaan orang zaman modern untuk melakukannya. Bentuk permainannya tidak sebagaimana dadu ataupun bermain kartu remi, akan tetapi lebih kepada permainan yang menguras otak dengan mengatur siasat untuk dapat mengalahkan lawan dengan beberapa icon yang diibaratkan sebagai dua buah kerajaan yang sedang melakukan peperangan. Permainan catur ini telah diselenggarakan dalam beberapa pertandingan olah-raga termasuk dalam olah raga tingkat dunia, Olimpiade yang telah dimulai puluhan tahun yang lalu.

Hadits-hadits yang berkenaan dengan catur

1. Dari Sulaiman bin Buraidah. Dari bapaknya r.a. katanya Nabi SAW bersabda, "Siapa yang bermain permainan Nardasyir (sejenis catur), maka seolah-olah dia melumuri tangannya dengan daging dan darah babi.".[1] juga hadits yang berarti, "Barang siapa yang bermain dengan dadu berarti ia telah durhaka terhadap Alloh dan rasul-Nya."

2. "Terkutuk orang yang main catur itu."

Adapun kedudukan hadits ini adalah maudhu'. Dikeluarkan oleh ad-Dailami (IV/63) dari Ibad bin Abdus Shamad dari Anas yang di-marfu'-kannya.

Syaikh al Albani sependapat, sanad ini maudhu' dan kelemahannya karena adanya Ibad ini, yang oleh Imam Bukhari dinyatakan mungkar periwayatannya. Kemudian, Ibnu Hibban menegaskan, "Telah meriwayatkan dari Anas sekumpulan riwayat yang semuanya maudhu'."

Al-Hafizh as-Sakhawi mengatakan dalam kitab Umdatul Muhtaj fi Hukmisy-Syathranj (I/9), "Imam an-Nawawi ditanya tentangnya maka ia jawab tidak shahih."

Yang semisalnya adalah yang dikemukakan oleh imam As-Sayuthi dalam kitabnya al-Jami' dari riwayat Abdan dan Abu Musa serta Ibnu Hazm dari Habbah bin Muslim secara mursal, sambil menambahkan "Dan orang yang melihat kearahnya bagaikan makan daging babi." Al-Manawi mengatakan, "Habbah adalah seorang tabi'in yang tidak dikenal kecuali dengan periwayatan ini," dan didalam kitab al-Mizan dinyatakan, "Ini adalah riwayat mungkar."

Hadits ini, menurut Al Albani, merupakan periwayatan Ibnu Juraij dari Habbah, dikatakan pada salah satu dari kedua jalur sanad yang paling sahih darinya, namun keduanya dhaif. Telah meriwayatkan hadits dari Habbah bin Muslim dan mempunyai dua kelemahan, mursal dan keterputusan sanad.[2]

3. "Apabila kalian melewati mereka yang tengah bermain undi nasib seperti catur, dadu, dan apa saja yang termasuk lahwun 'main-main' maka janganlah kalian memberi salam kepada mereka. Dan, bila mereka memberi salam kepada kalian, maka janganlah kalian balas salam mereka, karena apabila mereka berkumpul menggelutinya, datanglah iblis --semoga Allah menghinakannya-- dengan membawa tentaranyaseraya mengerumuni mereka. Dan, setiap ada orang yang meninggalkan tempat catur ia memojokkannya, lalu datanglah malaikat dari belakang seraya melotot terhadap mereka, dan merekapun (yakni iblis) tidak lagi mendekati mereka (orang-orang yang berpaling dari permainan). Dan, para malaikat tidak henti-hentinya mengutuk mereka hingga mereka berpisah dan berpencar bagaikan anjing yang berkumpul berebut bangkai, memakannya hingga kenyang perutnya kemudian mereka berpencar."

Hadits ini adalah maudhu'. Dikeluarkan oleh al-Ajri dalam kitab Tahrim an-Nard wasy-Syathranj wal-malahi (II/43-Q) dengan jalur sanad dari Sulaiman bin Daud al-Yamami, dari Yahya bin Abi Katsir, dari Abu Salamah bin Abdurrahman, dari Abu Hurarirah r.a., ia berkata, "Rasulullah saw. bersabda ..." (hadits di atas).

Menurut Syaikh Al Albani, sanad riwayat ini sangat dhaif dan penyakitnya karena ada Sulaiman bin Daud al-Yamami. Tentangnya, adz-Dzahabi menegaskan dalam kitab al-Mizan, "Ibnu Mu'in mengatakan, 'Sulaiman bin Daud tidak ada harganya.'" Sedangkan Imam Bukhari menyatakan, "Sulaiman bin Daud mungkar periwayatan haditsnya." Mengenai hal ini telah berulang kali saya jelaskan bahwa makna penyataan Bukhari "mungkar periwayatan haditsnya" berarti tidak dibenarkan meriwayatkan hadits pemberitaannya.

Adapun Ibnu Hibban hanya mengatakan ia sebagai perawi dhaif, sedangkan para pakar hadits lainnya menyatakan bahwa Sulaiman bin Daud ditinggalkan periwayatannya.

Kemudian, kami dapatkan al-Hafizh Ibnul Muhibb al-Maqdisi dengan tulisan tangannya menulis catatan pinggir kitab al-Ajri, "Ini hadits dhaif."

Menurut Al Albani, bahkan hadits ini adalah maudhu'. Dan tanda-tanda kepalsuannya sangat nyata karena penyakitnya, yaitu al-Yamami sebagai perawi tertuduh seperti telah kita ketahui dari pernyataan Imam Bukhari." Wallahu a'lam.[3]

Hukum Bermain Catur

Setiap permainan yang menjadikan satu pihak bisa menang dan pihak lain kalah adalah termasuk judi yang diharamkan, baik menggunakan sarana apa saja seperti catur, dadu dan lain-lainya, yang dijaman kita ini disebut lotere atau adu nasib, baik yang bertujuan untuk kebaikan, seperti dana sosial atau yang semata-mata demi mencari keuntungan, maka semuanya itu termasuk keuntungan yang tidak baik.

Ibnu Sirin berkata bahwa setiap sesuatu yang mengandung bahaya, maka itu adalah judi. Dalam hal ini Al Alusi berpendapat bahwa yang tergolong maisir adalah segala macam permainan judi, seperti dadu, catur dan lain-lain. Adapun permainan dadu, maka telah menjadi ijma atas haramnya sebagaimana sabda Rasulullah SAW: " Barang siapa bermain dadu maka benar-benar telah durhaka kepada Allah dan Rasul-Nya"..[4]

Adapun berkenaan dengan bermain catur sebagaimana disebutkan diatas, maka hadits-hadits yang berkenaan dengan masalah tersebut adalah maudhu' hanyasaja para ulama mengharamkannya dengan dalil surat Al Maidah ayat 3.

Sufyan bin Waki' bin Jaroh berkata, "kata 'azlam' adalah catur." Imam Mujahid berkata, "Apabila seseorang meninggal dunia, maka akan ditampakan di hadapan teman-teman duduknya. Suatau hari seorang yang suka bermain catur sedang manghadapi ajalnya, lantas ditalkinkan atasnya syahadat, namun orang tersebut berkata, "Skak," lalu ia mati. Lidahnya sudah terbiasa mengucapkan kata-kata itu selagi ia hidup, sehingga ketika ajal datang ia mengganti kalimat Tauhid dengan skak." Demikian juga sebagaimana orang-orang yang duduk bersama para pemabuk.[5]

Adz Dzahabi berkata, "Adapun tentang catur sebagian besar para ulama mengharamkannya, baik dengan taruhan atau tidak. Jika dengan taruhan maka termasuk judi tanpa diperselisihkan lagi. Sedang jika tidak maka diperselisihkan dan para ulama mengangapnya sama."[6]

Termasuk kekeliruan yang dilakukan kaum muslimin dalam menyambut Id adalah dengan begadang di malam hari, asyik duduk menyaksikan film-film atau sinetron, permainan-permainan, seperti kartu remi, domino, catur dan semisalnya.[7]

Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin pernah ditanya Apakah boleh bermain catur dengan syarat-syarat tidak terus menerus (kontinyu) tapi hanya pada waktu luang saja. Tidak saling mengejek Selama pemainan. Tidak melalaikan shalat-shalat wajib ? Beliau menjawab, "Menurut pendapat yang kuat bahwa permainan catur hukumnya adalah haram dengan beberapa alasan, yaitu :

  1. Buah catur tidak ubahnya seperti patung yang memiliki bentuk. Sebagaimana diketahui bahwa memiliki gambar atau patung hukumnya adalah haram, karena Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda yang artinya, "Malaikat enggan memasuki rumah yang didalamnya ada gambar.”[8]
  2. Permainan tersebut telah condong membuat lalai dari mengingat Allah, maka sehala sesuatu yang dapat membuat lalai dari mengingat Allah adalah haram hukumnya, karena Allah telah menerangkan tentang hikmah dilarangnya khamr, berjudi, berhala, dan mengundi nasib dengan firman Alloh SWT :

$yJ¯RÎ) ߃̍ムß`»sÜø¤±9$# br& yìÏ%qムãNä3uZ÷t/ nourºyyèø9$# uä!$ŸÒøót7ø9$#ur Îû ̍÷Ksƒø:$# ÎŽÅ£÷yJø9$#ur öNä.£ÝÁtƒur `tã ̍ø.ÏŒ «!$# Ç`tãur Ío4qn=¢Á9$# ( ö@ygsù LäêRr& tbqåktJZB ÇÒÊÈ (

Artinya, “Sesungguhnya setan itu bermaksud hendak menimbulkan permusuhan dan kebencian di antara kamu lantaran (meminum) khamr dan berjudi itu, dan menghalangi kamu dari mengingat Allah dan sembahyang. Maka berhentilah kamu (dari mengerjakan pekerjaan itu)” [Al-maidah : 91]

Alasan lain yang membuatnya haram adalah bahwa permainan itu berpotensi menimbulkan permusuhan sesama pemain, dimana seseorang bisa saja mengucapkan kata-kata yang tidak sepantasnya ia ucapkan kepada saudaranya sesama muslim. Selain itu, permainan catur dapat membatasi kecerdasan seseorang hanya pada satu bidang saja (hanya dalam permainan catur saja) dan dapat melemahkan akal sebagaimana yang telah saya sebutkan diatas.

Konon dikatakan bahwa orang yang tekun dalam permainan catur, jika mereka terjun ke bidang lain yang membutuhkan kecerdikan dan kecerdasan, maka kita mendapatkan mereka sebagai orang yang paling lemah akalnya. Untuk alasan itulah maka permainan catur diharamkan.

Jika permainan catur tanpa menggunakan uang atau tanpa berjudi saja hukumnya haram, apalagi bila permainan itu disertai dengan perjudian." Demikian pendapat dari Syaikh Utsaimin.[9]

Lepas dari masalah tempat untuk bermainnya apakah di masjid atau ditempat lain, para ulama jauh sebelum kita ini sudah membicarakan sebatas hukum main caturnya saja. Dan sebagaimana biasa dalam masalah yang tidak ada nash yang sorih, maka pendapat mereka para ulama ahli fikih tidaklah sama satu dengan yang lainnya. Secara lebih jauh bisa kita sebutkan beberapa pendapat mereka.

1. Pendapat Pertama : Mereka yang mengharamkan main catur.

Mereka adalah jumhur ulama dari kalangan Al-Hanafiyah, Al-Hanabilah dan sebagian riwayat pendapat Imam Malik ra.

Ulama Al-Hanafiyah menetapkan bahwa permainan catur itu hukumnya makruh baik main dadu atau catur. Sedangkan bila permainan itu bercampur dengan unsur judi, atau dilakukan secara rutin atau bahkan sampai meninggalkan pekerjaan yang wajib, maka hukumnya menjadi haram secara ijma`.

Sedangkan Al-Malikiyah mengatakan bahwa permainan tersebut tidak ada kebaikan di dalamnya, hingga sampai pada titik dimana orang yang bermain catur tidak bisa diterima kesaksiannya.

Al-Hanabilah mengatakan bahwa permainan catur itu hukumnya haram secara mutlak.

2. Pendapat Kedua : Mereka yang mengatakan makruh

Pendapat ini didukung oleh para ulama Asy-Syafi`iyyah dan para pengikutnya. Hanya saja Imam Al-Ghazali mengatakan bahwa hal-hal tersebut menjadi makruh bila dilakukan secara rutin.

3. Pendapat Ketiga : Mereka yang mengatakan boleh.

Ini adalah pendapat para tabiin besar seperti dan juga riwayat dari Abi Yusuf dari Al-Hanafiyah dan mereka memberikan alasan jika permainan itu dimaksudkan untuk melatih otak.

Al-Hafiz Ibnul-Bar berkata bahwa pendapat jumhur fuqoha tentang catur adalah bahwa orang yang memainkannya tanpa ada unsur judi dan dilakukan secara tertutup bersama keluarga sekali dalam sebulan atau setahun dan juga tidak diketahui oleh orang lain maka hukumnya dimaafkan dan tidak haram atau tidak makruh.

Tapi jika dia melakukannya secara terang-terangan maka muru`ah dan A`dalahnya jatuh sehinggga mengakibatkan kesaksiannya tidak diterima. (Lihat At-Tamhid : 13/183 dan Al-Qurtubi : 8/338).

Diantara orang yang memberikan rukhshah untuk bermain catur selama tidak ada unsur judi adalah : Said bin Musayyab, Said bin Jubair, Muhammad bin Sirin, Urwah bin Zubair, As-Sya`bi, Al-Hasan Al-Bashri, Ali bin Hasan bin Ali bin Abi Thalib, Ibnu Syihab, Rabi`ah dan Atho` (Lihat At-Tamhid : 13/181).

Dr. Yusuf Al-Qordhawi dalam kitab Halal dan Haramnya yang masyhur, beliau berkata, "Di antara permainan yang sudah terkenal ialah catur. Para ahli fiqih berbeda pendapat tentang memandang hukumnya, antara mubah, makruh dan haram. Mereka yang mengharamkan beralasan dengan beberapa hadis Nabi s.a.w. Namun para pengkritik dan penyelidiknya menolak dan membatalkannya. Mereka menegaskan, bahwa permainan catur hanya mulai tumbuh di zaman sahabat. Oleh karena itu setiap hadis yang menerangkan tentang catur di zaman Nabi adalah hadis-hadis batil (dhaif). [10]

Di kalangan para sahabat sendiri berbeda dalam memandang masalah catur ini. Ibnu Umar menganggapnya sama dengan dadu. Sedang Ali memandangnya sama dengan judi. (Mungkin yang dimaksud, yaitu apabila dibarengi dengan judi). Sementara ada juga yang berpendapat makruh.

Ali bin Abi Tholib berkata, Catur itu adalah judinya orang-orang a'jam ( selain Arab ). " Suatu ketika beliau bnerjalan di hadapan orang yang bermain catur lalu berkata, "Patung-patung apakah yang kalian hadapi ini ? Seandainya kalian menyentuh bara api samapi p[adam adalah lebih baik dari pada menyentuh benda ini, Demi Alloh bukan untuk ini kalian diciptakan."

Sedangkan sahabat Ibnu Abbas pernah diamanahi mengurusi anak yatim dan harta mereka, lalu beliau mendapatkan dalam rumah itu terdapat catur lalu beliau membakarnya, kalalulah boleh tentu beliau tidak akan membakarnya. Abu Musa Al Asy'ari berkata, "Orang yang bermain catur hanyalah orang yang salah."

Ibrohim An Nakho'I berkata, "Bermain catur adalah terkutuk."[11]

Dan di antara sahabat dan tabi'in ada juga yang menganggapnya mubah. Di antara mereka itu ialah: Ibnu Abbas, Abu Hurairah, Ibnu Sirin, Hisyam bin 'Urwah, Said bin Musayyib dan Said bin Jubair. Inilah pendapat orang-orang kenamaan dan begitu jugalah pendapat saya. Sebab menurut hukum asal, sebagaimana telah kita ketahui, adalah mubah. Sedang dalam hal ini tidak ada satu nas tegas yang menerangkan tentang haramnya. Dan pada catur itu sendiri melebihi permainan dan hiburan biasa. Di dalamnya terdapat semacam olah raga otak dan mendidik berfikir. Oleh karena itu tidak dapat disamakan dengan dadu. Dan justru itu pula mereka mengatakan: yang menjadi ciri daripada dadu ialah untung-untungan (spekulasi), jadi sama dengan azlam. Sedang yang menjadi ciri dalam permainan catur ialah kecerdasan dan latihan, jadi sama dengan lomba memanah.

Namun tentang kebolehannya ini dipersyaratkan dengan tiga syarat :

1. Tidak boleh menyebabkan tertundanya shalat

2. Tidak boleh bercampur dengan unsur judi

3. Bisa menjaga lisannya ketika sedang bermain untuk tidak bicara kotor atau membicarakan orang dan yang sejenisnya.

Kalau ketiga syarat ini tidak dapat dipenuhinya, maka dapat dihukumi haram.[12]

Imam Asy Syafi'i pernah ditanya oleh seseorang, "Hai Imam Syafi’i, kamu membolehkan manusia bermain catur padahal Rasulullah saw telah bersabda, 'Tidak menyukai permainan catur kecuali seorang penyembah berhala.'[13]

Demikian Imam Asy Syafii, bahkan beliau membolehkan permainan catur dengan syarat-syarat, bila permainan catur tanpa pertaruhan, tanpa omongan yang melampaui batas dan tidak sampai melalaikan shalat, maka tidak haram dan tidak termasuk maisir (judi), karena judi ditandai adanya pembayaran uang atau pengambilan uang, sedang hakekat permainan catur tidak demikian, maka ia tidak termasuk judi.[14]

Imam An Nawawi pernah ditanya tentang boleh dan tidaknya, dosa atau tidak bermain catur, beliau menyebutkan bila dalam permainan menyebabkan hilangnya kesempatan untuk menunaikan sholat, atau disertai dengan taruhan maka hukumnya menjadi haram, jika tidak maka makruh, demikian pendapat Asy Syafi'I sedang menurut pendapat lainnya tetap haram.[15]

Dengan ketatnya pendapat ulama tentang masalah main catur ini, apalagi para ulama dahulu sering mengaitkannya dengan muruah dan `adalah seseorang, yaitu kehormatan / nama baik dan keadilan. Sehingga bisa menggugurkan level kebolehannya untuk bisa diterima kesaksiannya di depan sidang pengadilan. Terlebih lagi bermain catur di dalam masjid, maka hal ini sangatlah tidak layak karena bermain catur di masjid jelas merusak kehormatan masjid itu sendiri dan lebih baik baiknya untuk dihindari. [16]

Demikian bermain catur secara umum, terlebih dilakukan di masjid. Maka dalam hal ini Alloh SWT telah berfirman :

Îû BNqãç/ tbÏŒr& ª!$# br& yìsùöè? tŸ2õãƒur $pkŽÏù ¼çmßJó$# ßxÎm7|¡ç ¼çms9 $pkŽÏù Íirßäóø9$$Î/ ÉA$|¹Fy$#ur ÇÌÏÈ ×A%y`Í žw öNÍkŽÎgù=è? ×ot»pgÏB Ÿwur ììøt/ `tã ̍ø.ÏŒ «!$# ÏQ$s%Î)ur Ío4qn=¢Á9$# Ïä!$tGƒÎ)ur Ío4qx.¨9$# tbqèù$sƒs $YBöqtƒ Ü=¯=s)tGs? ÏmŠÏù ÛUqè=à)ø9$# ㍻|Áö/F{$#ur ÇÌÐÈ ãNåkuÌôfuÏ9 ª!$# z`|¡ômr& $tB (#qè=ÏHxå NèdyƒÌtƒur `ÏiB ¾Ï&Î#ôÒsù 3 ª!$#ur ä-ãötƒ `tB âä!$t±o ÎŽötóÎ/ 5>$|¡Ïm ÇÌÑÈ

Artinya, "(Mereka yang mendapat pancaran nur Ilahi) adalah bertasbih kepada Allah di masjid-masjid yang telah diperintahkan untuk dimuliakan dan disebut nama-Nya di dalamnya, pada waktu pagi dan waktu petang laki-laki yang tidak dilalaikan oleh perniagaan dan tidak (pula) oleh jual beli dari mengingati Allah, dan (dari) mendirikan sembahyang, dan (dari) membayarkan zakat. Mereka takut kepada suatu hari yang (di hari itu) hati dan penglihatan menjadi goncang.. (Meraka mengerjakan yang demikian itu) supaya Allah memberikan balasan kepada mereka (dengan balasan) yang lebih baik dari apa yang telah mereka kerjakan, dan supaya ALlah menambah karunia-Nya kepada mereka. Dan Allah memberi rezki kepada siapa yang dikehendaki-Nya tanpa batas." ( Q.S An Nuur : 36-38 )

Kesimpulan :

Para Ulama berbeda pendapat dalam hal hukum bermain catur, kebanyakan dari mereka adalah mengharamkannya dengan menyamakannya dengan permainan dadu dan atau selainnya yang baik dilakukannya untuk berjudi atau tidak. Adapun yang membolehkan permainan catur adalah dengan syarat-syarat yang telah disebutkan oleh para ulama diatas.

Wallahu A`lam Bish-Showab

Daftar Maroji' :

  1. Al-Fiqh al-lslami wa Adillatuh, DR. Wahbah Az Zuhaili, CET 4 TAHUN 1418 / 1997 Darul Fikr wal Ma'ashir, Beirut, Suriyah
  2. Imam Adz Dzahabi, Al Kabaair wa yaliihi Al mahrumat wal manhiyat, cet 4 tahun 1416, Daar Ibnul Mubarok, Saudi Arabia
  3. Imam Adz Dzahabi, Al Kabaair, ( Edisi Arab ), tanpa tahun Dinamika Utama Jakarta & Edisi Indonesia; Dosa-dosa Besar cet 1, pustaka Arofah, Solo
  4. Syekh Muhammad Yusuf Qardhawi, Al Halal wal Harom; Edisi Indonesia Halal dan Haram dalam Islam, penerjemah Mu'ammal Hamidy, cetakan tahun 1993 Penerbit PT. Bina Ilmu, Surabaya
  5. Muhammad Nashruddin al-Albani, Silsilatul-Ahaadiits adh-Dhaifah wal Maudhu'ah wa Atsaruhas-Sayyi' fil-Ummah (Edisi Indonesia; Silsilah Hadits Dha'if dan Maudhu', Penterjemah: A.M. Basamalah, Penyunting: Drs. Imam Sahardjo HM., Cetakan 1, tahun 1994, Gema Insani Press, Jakarta
  6. Imam Muslim An Naisaburi, HADITS SHAHIH MUSLIM (Edisi Indonesia; Terjemahan Hadits "Shahih Muslim", Penterjemah : Ma'mur Daud, Pentashih : Syekh H. Abd. Syukur Rahimy, Cetakan kelima, Thn 2003, Penerbit Fa. Widjaya, Jakarta
  7. Al-Fatawa Asy-Syar’iyyah Fi Al-Masa’il Al-Ashriyyah Min Fatawa Ulama Al-Balad Al-Haram, edisi Indonesia Fatwa-Fatwa Terkini-3, Darul Haq Jakarta.
  8. Syaikh Ibn Utsaimin, Al-As’ilah Al-Muhimmah, Mamalakah Aroniyah Su'udiyah, Arab SAudi
  9. Syariahonline.com, Pusat Konsultasi Syariah, Office : TB Simatupang 12 A Lenteng Agung Jagakarsa Jakarta Selatan Indonesia, telp. (62-21) 78847267 fax. (62-21) 78847268
  10. www.al-shia.com
  11. www.assofwa.or.id



[1] Imam Muslim, Sohih Muslim; Edisi Indonesia Terjemahan Hadits "Shahih Muslim" Penterjemah : Ma'mur Daud hadits no. (2107)

[2] Muhammad Nashruddin al-Albani, Silsilatul-Ahaadiits adh-Dhaifah wal Maudhu'ah wa Atsaruhas-Sayyi' fil-Ummah ( Edisi Indonesia; Silsilah Hadits Dha'if dan Maudhu', penterjemah: A.M. Basamalah,

Hadits No. 1145)

[3] Muhammad Nashruddin al-Albani, Silsilatul-Ahaadiits adh-Dhaifah wal Maudhu'ah wa Atsaruhas-Sayyi' fil-Ummah ( Edisi Indonesia; Silsilah Hadits Dha'if dan Maudhu', penterjemah: A.M. Basamalah,

Hadits No. 1146

[4] lihat Ruhul Ma'ani, Al Alusi, II halaman 114

[5] Adz Dzahabi, Al Kabair, masalah no.58

[6] ibid

[7] Sumber: Brosur berbahasa Arab tentang Hari Raya, ditulis oleh Hamud bin Abdul Aziz al-Shaigh.www as-sofwa.or.id

[8] Al-bukhari dalam bab Bad’u Al-Khalqi 2336 ; Muslim dalam bab Al-Libas 85-2106

[9] Syaikh Ibn Utsaimin, Al-As’ilah Al-Muhimmah, hal. 17,

[10] Syekh Muhammad Yusuf Qardhawi, Halal dan Haram dalam Islam halaman 410

[11] Dari kitab Al Kabair bab nard wa nardasyir

[12] Syekh Muhammad Yusuf Qardhawi, Halal dan Haram dalam Islam halaman 410

[13] al-Fiqh al-lslami wa Adillatuh, jld. 5, hal. 566.juga dapat dilihat dalam Al-Umm, asy-Syafi’i, jld. 6, hal. 208.

[14] lihat Ruhul Ma'ani, Al Alusi, II halaman 114

[15] Al Kaba'ir, Adz Dzahabi no.58

[16] email info@syariahonline.com