Senin, 19 Mei 2008

31 Sebab lemahnya iman


PENDAHULUAN:

Makna Iltizam

Al Iltizam : lazimtu as Syai' artinya "saya menekuni sesuatu" makna lainnya ialah konsisten, merangkul, atau memeluk.[1]
Ibnu Mandzur mengatakan, "orang yang beriltizam pada suatu pekerjaan dan orang yang mengharuskan mengerjakan sesuatu hingga dirinya tidak berpisah dengan pekerjaan tersebut".[2]

BERKUMPUL UNTUK MEMBACA AL-QUR'AN

1. Hukum membaca Al-Qur'an bersama-sama.
Membaca Al-Qur'an merupakan ibadah dan merupakan salah satu sarana yang paling utama untuk mendekatkan diri kepda Allah Ta'ala.
Pada dasarnya membaca Al-Qur'an haruslah dengan tatacara sebagaimana Rasulullah saw mencontohkannya bersama para sahabat beliau. Tidak ada satupun riwayat dari beliau dan sahabatnya bahwa mereka membacanya dengan cara bersama-sama dengan satu suara. Akan tetapi mereka membacanya sendiri-sendiri, atau salah seorang membaca dan orang lain yang hadir mendengarkannya.

BERJABAT TANGAN ANTARA LAKI-LAKI DENGAN PEREMPUAN

BERJABAT TANGAN ANTARA LAKI-LAKI

DENGAN PEREMPUAN

Sebuah persoalan yang sedang saya hadapi, dan sudah barang tentu juga dihadapi orang lain, yaitu masalah berjabat tangan antara laki-laki dengan wanita, khususnya terhadap kerabat yang bukan mahram saya, seperti anak paman atau anak bibi, atau istri saudara ayah atau istri saudara ibu, atau saudara wanita istri saya, atau wanita-wanita lainnya yang ada hubungan kekerabatan atau persemendaan dengan saya. Lebih-lebih dalam momen-momen tertentu, seperti datang dari bepergian, sembuh dari sakit, datang dari haji atau umrah, atau saat-saat lainnya yang biasanya para kerabat, semenda, tetangga, dan teman-teman lantas menemuinya dan bertahni'ah (mengucapkan selamat atasnya) dan berjabat tangan antara yang satu dengan yang lain.


Pertanyaan saya, apakah ada nash Al-Qur'an atau As-Sunnah yang mengharamkan berjabat tangan antara laki-laki dengan wanita, sementara sudah saya sebutkan banyak motivasi kemasyarakatan atau kekeluargaan yang melatarinya, disamping ada rasa saling percaya. aman dari fitnah, dan jauh dari rangsangan syahwat. Sedangkan kalau kita tidak mau berjabat tangan, maka mereka memandang kita orang-orang beragama ini kuno dan terlalu ketat, merendahkan wanita, selalu berprasangka buruk kepadanya, dan sebagainya.

Apabila ada dalil syar'inya, maka kami akan menghormatinya dengan tidak ragu-ragu lagi, dan tidak ada yang kami lakukan kecuali mendengar dan mematuhi, sebagai konsekuensi keimanan kami kepada Allah dan Rasul-Nya. Dan jika hanya semata-mata hasil ijtihad fuqaha-fuqaha kita terdahulu, maka adakalanya fuqaha-fuqaha kita sekarang boleh berbeda pendapat dengannya, apabila mereka mempunyai ijtihad yang benar, dengan didasarkan pada tuntutan peraturan yang senantiasa berubah dan kondisi kehidupan yang selalu berkembang.

Karena itu, saya menulis surat ini kepada Ustadz dengan harapan Ustadz berkenan membahasnya sampai ke akar-akarnya berdasarkan Al-Qur'anul Karim dan Al-Hadits asy-Syarif. Kalau ada dalil yang melarang sudah tentu kami akan berhenti; tetapi jika dalam hal ini terdapat kelapangan, maka kami tidak mempersempit kelapangan-kelapangan yang diberikan Allah kepada kami, lebih-lebih sangat diperlukan dan bisa menimbulkan "bencana" kalau tidak dipenuhi.

Saya berharap kesibukan-kesibukan Ustadz yang banyak itu tidak menghalangi Ustadz untuk menjawab surat saya ini, sebab - sebagaimana saya katakan di muka - persoalan ini bukan persoalan saya seorang, tetapi mungkin persoalan berjuta-juta orang seperti saya.

Semoga Allah melapangkan dada Ustadz untuk menjawab, dan memudahkan kesempatan bagi Ustadz untuk menahkik masalah, dan mudah-mudahan Dia menjadikan Ustadz bermanfaat.

Jawaban:

Tidak perlu saya sembunyikan kepada saudara penanya bahwa masalah hukum berjabat tangan antara laki-laki dengan perempuan - yang saudara tanyakan itu - merupakan masalah yang amat penting, dan untuk menahkik hukumnya tidak bisa dilakukan dengan seenaknya. Ia memerlukan kesungguhan dan pemikiran yang optimal dan ilmiah sehingga si mufti harus bebas dari tekanan pikiran orang lain atau pikiran yang telah diwarisi dari masa-masa lalu, apabila tidak didapati acuannya dalam Al-Qur'an dan As-Sunnah sehingga argumentasi-argumentasinya dapat didiskusikan untuk memperoleh pendapat yang lebih kuat dan lebih mendekati kebenaran menurut pandangan seorang faqih, yang didalam pembahasannya hanya mencari ridha Allah, bukan memperturutkan hawa nafsu.

Sebelum memasuki pembahasan dan diskusi ini, saya ingin mengeluarkan dua buah gambaran dari lapangan perbedaan pendapat ini, yang saya percaya bahwa hukum kedua gambaran itu tidak diperselisihkan oleh fuqaha-fuqaha terdahulu, menurut pengetahuan saya. Kedua gambaran itu ialah:

Pertama, diharamkan berjabat tangan dengan wanita apabila disertai dengan syahwat dan taladzdzudz (berlezat-lezat) dari salah satu pihak, laki-laki atau wanita (kalau keduanya dengan syahwat sudah barang tentu lebih terlarang lagi; penj.) atau
dibelakang itu dikhawatirkan terjadinya fitnah, menurut dugaan yang kuat. Ketetapan diambil berdasarkan pada hipotesis bahwa menutup jalan menuju kerusakan itu adalah wajib, lebih-lebih jika telah tampak tanda-tandanya dan

Hal ini diperkuat lagi oleh apa yang dikemukakan para ulama bahwa bersentuhan kulit antara laki-laki dengannya - yang pada asalnya mubah itu - bisa berubah menjadi haram apabila disertai dengan syahwat atau dikhawatirkan terjadinya fitnah,1 khususnya dengan anak perempuan si istri (anak tiri), atau saudara sepersusuan, yang perasaan hatinya sudah barang tentu tidak sama dengan perasaan hati ibu kandung, anak kandung, saudara wanita sendiri, bibi dari ayah atau ibu, dan sebagainya.

Kedua, kemurahan (diperbolehkan) berjabat tangan dengan wanita tua yang sudah tidak punya gairah terhadap laki-laki, demikian pula dengan anak-anak kecil yang belum mempunyai syahwat terhadap laki-laki, karena berjabat tangan dengan mereka itu aman dari sebab-sebab fitnah. Begitu pula bila si laki-laki sudah tua dan tidak punya gairah terhadap wanita.

Hal ini didasarkan pada riwayat dari Abu Bakar r.a. bahwa beliau pernah berjabat tangan dengan beberapa orang wanita tua, dan Abdullah bin Zubair mengambil pembantu wanita tua untuk merawatnya, maka wanita itu mengusapnya dengan tangannya dan membersihkan kepalanya dari kutu.2

Hal ini sudah ditunjukkan Al-Qur'an dalam membicarakan perempuan-perempuan tua yang sudah berhenti (dari haid dan mengandung), dan tiada gairah terhadap laki-laki, dimana mereka diberi keringanan dalam beberapa masalah pakaian yang tidak diberikan kepada yang lain:

"Dan perempuan-perempuan tua yang telah terhenti (dari haid dan mengandung) yang tiada ingin kawin (lagi), tiadalah atas mereka dosa menanggalkan pakaian mereka dengan tidak (bermaksud) menampakkan perhiasan, dan berlaku sopan adalah lebih baik bagi mereka. Dan Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui." (an-Nur: 60)

Dikecualikan pula laki-laki yang tidak memiliki gairah terhadap wanita dan anak-anak kecil yang belum muncul hasrat seksualnya. Mereka dikecualikan dari sasaran larangan terhadap wanita-wanita mukminah dalam hal menampakkan perhiasannya.

"... Dan hendaklah mereka menutupkan kain kudung ke dadanya, dan janganlah menampakkan perhiasannya, kecuali kepada suami mereka, atau putra-putra suami mereka, atau saudara-saudara laki-laki mereka, atau putra-putra saudara laki-laki mereka, atau putra-putra saudara perempuan mereka, atau wanita-wanita Islam, atau budak-budak yang mereka miliki, atau pelayan-pelayan laki-laki yang tidak mempunyai keinginan (terhadap wanita) atau anak-anak yang belum mengerti tentang aurat wanita ..."(an-Nur: 31)

Selain dua kelompok yang disebutkan itulah yang menjadi tema pembicaraan dan pembahasan serta memerlukan pengkajian dan tahkik.

Golongan yang mewajibkan wanita menutup seluruh tubuhnya hingga wajah dan telapak tangannya, dan tidak menjadikan wajah dan tangan ini sebagai yang dikecualikan oleh ayat:

"... Dan janganlah mereka menampakkan perhiasannya kecuali yang biasa tampak daripadanya ..." (an-Nur: 31)

Bahkan mereka menganggap bahwa perhiasan yang biasa tampak itu adalah pakaian luar seperti baju panjang, mantel, dan sebagainya, atau yang tampak karena darurat seperti tersingkap karena ditiup angin kencang dan sebagainya. Maka tidak mengherankan lagi bahwa berjabat tangan antara laki-laki dengan wanita menurut mereka adalah haram. Sebab, apabila kedua telapak tangan itu wajib ditutup maka melihatnya adalah haram; dan apabila melihatnya saja haram, apa lagi menyentuhnya. Sebab, menyentuh itu lebih berat daripada melihat, karena ia lebih merangsang, sedangkan tidak ada jabat tangan tanpa bersentuhan kulit.

Tetapi sudah dikenal bahwa mereka yang berpendapat demikian adalah golongan minoritas, sedangkan mayoritas fuqaha dari kalangan sahabat, tabi'in, dan orang-orang sesudah mereka berpendapat bahwa yang dikecualikan dalam ayat "kecuali yang biasa tampak daripadanya" adalah wajah dan kedua (telapak) tangan.

Maka apakah dalil mereka untuk mengharamkan berjabat tangan yang tidak disertai syahwat?

Sebenarnya saya telah berusaha mencari dalil yang memuaskan yang secara tegas menetapkan demikian, tetapi tidak saya temukan.

Dalil yang terkuat dalam hal ini ialah menutup pintu fitnah (saddudz-dzari'ah), dan alasan ini dapat diterima tanpa ragu-ragu lagi ketika syahwat tergerak, atau karena takut fitnah bila telah tampak tanda-tandanya. Tetapi dalam kondisi aman - dan ini sering terjadi - maka dimanakah letak keharamannya?

Sebagian ulama ada yang berdalil dengan sikap Nabi saw. yang tidak berjabat tangan dengan perempuan ketika beliau membai'at mereka pada waktu penaklukan Mekah yang terkenal itu, sebagaimana disebutkan dalam surat al-Mumtahanah.

Tetapi ada satu muqarrar (ketetapan) bahwa apabila Nabi sawmeninggalkan suatu urusan, maka hal itu tidak menunjukkan secara pasti - akan keharamannya. Adakalanya beliameninggalkan sesuatu karena haram, adakalanya karena makruhadakalanya hal itu kurang utama, dan adakalanya hanysemata-mata karena beliau tidak berhasrat kepadanya, sepertbeliau tidak memakan daging biawak padahal daging itu mubah.

Kalau begitu, sikap Nabi saw. tidak berjabat tangan dengan wanita itu tidak dapat dijadikan dalil untuk menetapkan keharamannya, oleh karena itu harus ada dalil lain bagi orang yang berpendapat demikian.

Lebih dari itu, bahwa masalah Nabi saw. tidak berjabat tangan dengan kaum wanita pada waktu bai'at itu belum disepakati, karena menurut riwayat Ummu Athiyah al-Anshariyah r.a. bahwa Nabi saw. pernah berjabat tangan dengan wanita pada waktu bai'at, berbeda dengan riwayat dari Ummul Mukminin Aisyah r.a. dimana beliau mengingkari hal itu dan bersumpah menyatakan tidak terjadinya jabat tangan itu.

Imam Bukhari meriwayatkan dalam sahihnya dari Aisyah bahwa Rasulullah saw. menguji wanita-wanita mukminah yang berhijrah dengan ayat ini, yaitu firman Allah:

"Hai Nabi, apabila datang kepadamu perempuan-perempuan yang beriman untuk mengadakan janji setia, bahwa mereka tidak akan mempersekutukan sesuatu pun dengan Allah; tidak akan mencuri, tidak akan berzina, tidak akan membunuh anak-anaknya, tidak akan berbuat dusta yang mereka ada-adakan antara tangan dengan kaki mereka3 dan tidak akan mendurhakaimu dalam urusan yang baik, maka terimalah janji setia mereka dan mohonkanlah ampunan kepada Allah untuk mereka. Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang." (al-Mumtahanah: 12)

Aisyah berkata, "Maka barangsiapa diantara wanita-wanita beriman itu yang menerima syarat tersebut, Rasulullah saw.berkata kepadanya, "Aku telah membai'atmu - dengan perkataan saja - dan demi Allah tangan beliau sama sekali tidak menyentuh tangan wanita dalam bai'at itu; beliau tidak membai'at mereka melainkan dengan mengucapkan, 'Aku telah membai'atmu tentang hal itu.'" 4

Dalam mensyarah perkataan Aisyah "Tidak, demi Allah ...," al-Hafizh Ibnu Hajar berkata dalam Fathul Bari sebagai berikut: Perkataan itu berupa sumpah untuk menguatkan berita, dan dengan perkataannya itu seakan-akan Aisyah hendak menyangkal berita yang diriwayatkan dari Ummu Athiyah. Menurut riwayat Ibnu Hibban, al-Bazzar, ath-Thabari, dan Ibnu Mardawaih, dari (jalan) Ismail bin Abdurrahman dari neneknya, Ummu Athiyah, mengenai kisahbai'at, Ummu Athiyah berkata:

"Lalu Rasulullah saw. mengulurkan tangannya dari luar rumah dan kami mengulurkan tangan kami dari dalam rumah, kemudian beliau berucap, 'Ya Allah, saksikanlah.'"

Demikian pula hadits sesudahnya - yakni sesudah hadits yang tersebut dalam al-Bukhari - dimana Aisyah mengatakan:

"Seorang wanita menahan tangannya"

Memberi kesan seolah-olah mereka melakukan bai'at dengan tangan mereka.

Al-Hafizh (Ibnu Hajar) berkata: "Untuk yang pertama itu dapat diberi jawaban bahwa mengulurkan tangan dari balik hijab mengisyaratkan telah terjadinya bai'at meskipun tidak sampai berjabat tangan... Adapun untuk yang kedua, yang dimaksud dengan menggenggam tangan itu ialah menariknya sebelum bersentuhan... Atau bai'at itu terjadi dengan menggunakan lapis tangan.

Abu Daud meriwayatkan dalam al-Marasil dari asy-Sya'bi bahwa Nabi saw. ketika membai'at kaum wanita beliau membawa kain selimut bergaris dari Qatar lalu beliau meletakkannya di atas tangan beliau, seraya berkata,

"Aku tidak berjabat dengan wanita."

Dalam Maghazi Ibnu Ishaq disebutkan bahwa Nabi saw. memasukkan tangannya ke dalam bejana dan wanita itu juga memasukkan tangannya bersama beliau.

Ibnu Hajar berkata: "Dan boleh jadi berulang-ulang, yakni peristiwa bai'at itu terjadi lebih dari satu kali, diantaranya ialah bai'at yang terjadi di mana beliau tidak menyentuh tangan wanita sama sekali, baik dengan menggunakan lapis maupun tidak, beliau membai'at hanya dengan perkataan saja, dan inilah yang diriwayatkan oleh Aisyah. Dan pada kesempatan yang lain beliau tidak berjabat tangan dengan wanita dengan menggunakan lapis, dan inilah yang diriwayatkan oleh asy-Sya'bi."

Diantaranya lagi ialah dalam bentuk seperti yang disebutkan Ibnu Ishaq, yaitu memasukkan tangan kedalam bejana. Dan ada lagi dalam bentuk seperti yang ditunjukkan oleh perkataan Ummu Athiyah, yaitu berjabat tangan secara langsung.

Diantara alasan yang memperkuat kemungkinan berulang-ulangnya bai'at itu ialah bahwa Aisyah membicarakan bai'at wanita-wanita mukminah yang berhijrah setelah terjadinya peristiwa Perjanjian Hudaibiyah, sedangkan Ummu Athiyah - secara lahiriah - membicarakan yang lebih umum daripada itu dan meliputi bai'at wanita mukminah secara umum, termasuk didalamnya wanita-wanita Anshar seperti Ummu Athiyah si perawi hadits. Karena itu, Imam Bukhari memasukkan hadits Aisyah di bawah bab "Idzaa Jaa aka al-Mu'minaat Muhaajiraat," sedangkan hadits Ummu Athiyah dimasukkan dalam bab "Idzaa Jaa aka al- Mu'minaat Yubaayi'naka."

Maksud pengutipan semua ini ialah bahwa apa yang dijadikan acuan oleh kebanyakan orang yang mengharamkan berjabat tangan antara laki-laki dengan perempuan - yaitu bahwa Nabi saw. tidak berjabat tangan dengan wanita - belumlah disepakati. Tidak seperti sangkaan orang-orang yang tidak merujuk kepada sumber-sumber aslinya. Masalah ini bahkan masih diperselisihkan sebagaimana yang telah saya kemukakan.

Sebagian ulama sekarang ada yang mengharamkan berjabat tangan dengan wanita dengan mengambil dalil riwayat Thabrani dan Baihaqi dari Ma'qil bin Yasar dari Nabi saw., beliau bersabda:

"Sesungguhnya ditusuknya kepala salah seorang diantara kamu dengan jarum besi itu lebih baik daripada ia menyentuh wanita yang tidak halal baginya."5

Ada beberapa hal yang perlu diperhatikan berkenaan dengan pengambilan hadits di atas sebagai dalil:

1. Bahwa imam-imam ahli hadits tidak menyatakan secara jelas akan kesahihan hadits tersebut, hanya orang-orang seperti al-Mundziri dan al-Haitsami yang mengatakan, "Perawi-perawinya adalah perawi-perawi kepercayaan atau perawi-perawi sahih."

Perkataan seperti ini saja tidak cukup untuk menetapkan kesahihan hadits tersebut, karena masih ada kemungkinan terputus jalan periwayatannya (inqitha') atau terdapat 'illat (cacat) yang samar. Karena itu, hadits ini tidak diriwayatkan oleh seorang pun dari penyusun kitab-kitab yang masyhur, sebagaimana tidak ada seorang pun fuqaha terdahulu yang menjadikannya sebagai dasar untuk mengharamkan berjabat tangan antara laki-laki dengan perempuan dan sebagainya.

2. Fuqaha Hanafiyah dan sebagian fuqaha Malikiyah mengatakan bahwa pengharaman itu tidak dapat ditetapkan kecuali dengan dalil qath'i yang tidak ada kesamaran padanya, seperti Al-Qur'anul Karim serta hadits-hadits mutawatir dan masyhur. Adapun jika ketetapan atau kesahihannya sendiri masih ada kesamaran, maka hal itu tidak lain hanyalah menunjukkan hukum makruh, seperti hadits-hadits ahad yang sahih. Maka bagaimana lagi dengan hadits yang diragukan kesahihannya?

3. Andaikata kita terima bahwa hadits itu sahih dan dapat digunakan untuk mengharamkan suatu masalah, maka saya dapati petunjuknya tidak jelas. Kalimat "menyentuh kulit wanita yang tidak halal baginya" itu tidak dimaksudkan semata-mata bersentuhan kulit dengan kulit tanpa syahwat, sebagaimana yang biasa terjadi dalam berjabat tangan. Bahkan kata-kata al-mass (massa - yamassu - mass: menyentuh) cukup digunakan dalam nash-nash syar'iyah seperti Al-Qur'an dan As-Sunnah dengan salah satu dari dua pengertian, yaitu:

a. Bahwa ia merupakan kinayah (kiasan) dari hubungan biologis (jima') sebagaimana diriwayatkan Ibnu Abbas dalam menafsirkan firman Allah: "Laamastum an-Nisat" (Kamu menyentuh wanita). Ibnu Abbas berkata, "Lafal al-lams, al-mulaamasah, dan al-mass dalam Al-Qur'an dipakai sebagai kiasan untuk jima' (hubungan seksual). Secara umum, ayat-ayat Al-Qur'an yang menggunakan kata al-mass menunjukkan arti seperti itu dengan jelas, seperti firman Allah yang diucapkan Maryam:

"Betapa mungkin aku akan mempunyai anak padahal aku belum pernah disentuh oleh seorang laki-laki pun ..." (Ali Imran:47)

"Jika kamu menceraikan istri-istrimu sebelum kamu menyentuh mereka..." (al-Baqarah: 237)

Dalam hadits diceritakan bahwa Nabi saw. mendekati istri-istrinya tanpa menyentuhnya ....

b. Bahwa yang dimaksud ialah tindakan-tindakan dibawah kategori jima', seperti mencium, memeluk, merangkul, dan lain-lain yang merupakan pendahuluan bagi jima' (hubungan seksual). Ini diriwayatkan oleh sebagian ulama salaf dalam menafsirkan makna kata mulaamasah.

Al-Hakim mengatakan dalam "Kitab ath-Thaharah" dalam al-Mustadrak 'al a ash-Shahihaini sebagai berikut :

Imam Bukhari dan Muslim telah sepakat mengeluarkan hadits-hadits yang berserakan dalam dua musnad yang sahih yang menunjukkan bahwa al-mass itu berarti sesuatu (tindakan) dibawah jima':

(1) Diantaranya hadits Abu Hurairah:

"Tangan, zinanya ialah menyentuh..."

(2) Hadits Ibnu Abbas:

"Barangkali engkau menyentuhnya...?"

(3) Hadits lbnu Mas'ud:

"Dan dirikanlah shalat itu pada kedua tepi siang (pagi dan petang)..."6

Al-Hakim berkata, "Dan masih ada beberapa hadits sahih pada mereka (Bukhari dan Muslim) mengenai tafsir dan lainnya ..." Kemudian al-Hakim menyebutkan diantaranya:

(4) Dari Aisyah, ia berkata:

"Sedikit sekali hari (berlalu) kecuali Rasulullah saw. mengelilingi kami semua - yakni istri-istrinya - lalu beliau mencium dan menyentuh yang derajatnya dibawah jima'. Maka apabila beliau tiba di rumah istri yang waktu giliran beliau di situ, beliau menetap di situ."

(5) Dari Abdullah bin Mas'ud, ia berkata, "Au laamastum an-nisa" (atau kamu menyentuh wanita) ialah tindakan dibawah jima', dan untuk ini wajib wudhu."

(6) Dan dari Umar, ia berkata, "Sesungguhnya mencium itu termasuk al-lams, oleh sebab itu berwudhulah karenanya."7

Berdasarkan nash-nash yang telah disebutkan itu, maka mazhab Maliki dan mazhab Ahmad berpendapat bahwa menyentuh wanita yang membatalkan wudhu itu ialah yang disertai dengan syahwat. Dan dengan pengertian seperti inilah mereka menafsirkan firman Allah, "au laamastum an-nisa'" (atau kamu menyentuh wanita).

Karena itu, Syekhul Islam Ibnu Taimiyah dalam Fatawa-nya melemahkan pendapat orang yang menafsirkan lafal "mulaamasah" atau "al-lams" dalam ayat tersebut dengan semata-mata bersentuhan kulit walaupun tanpa syahwat.

Diantara yang beliau katakan mengenai masalah ini seperti berikut:

Adapun menggantungkan batalnya wudhu dengan menyentuh semata-mata (persentuhan kulit, tanpa syahwat), maka hal ini bertentangan dengan ushul, bertentangan dengan ijma' sahabat, bertentangan dengan atsar, serta tidak ada nash dan qiyas bagi yang berpendapat begitu.

Apabila lafal al-lams (menyentuh) dalam firman Allah (atau jika kamu menyentuh wanita ...) itu dimaksudkan untuk menyentuh dengan tangan atau mencium dan sebagainya - seperti yang dikatakan Ibnu Umar dan lainnya - maka sudah dimengerti bahwa ketika hal itu disebutkan dalam Al-Qur'an dan As-Sunnah, yang dimaksud ialah yang dilakukan dengan bersyahwat, seperti firman Allah dalam ayat i'tikaf: "... Dan janganlah kamu me-mubasyarah mereka ketika kamu sedang i'tikaf dalam masjid..." (al-Baqarah: 187)

Mubasyarah (memeluk) bagi orang yang sedang i'tikaf dengan tidak bersyahwat itu tidak diharamkan, berbeda dengan memeluk yang disertai syahwat.

Demikian pula firman Allah: "Jika kamu menceraikan istri-istrimu sebelum kamu menyentuh mereka ..." (al-Baqarah: 237). Atau dalam ayat sebelumnya disebutkan: "Tidak ada kewajiban membayar (mahar) atas kamu, jika kamu menceraikan istri-istrimu sebelum kamu menyentuh mereka ..." (al-Baqarah: 236).

Karena seandainya si suami hanya menyentuhnya dengan sentuhan biasa tanpa syahwat, maka tidak wajib iddah dan tidak wajib membayar mahar secara utuh serta tidak menjadikan mahram karena persemendaan menurut kesepakatan ulama.

Barangsiapa menganggap bahwa lafal au laamastum an-nisa' mencakup sentuhan biasa meskipun tidak dengan bersyahwat, maka ia telah menyimpang dari bahasa Al-Qur'an, bahkan menyimpang dari bahasa manusia sebagaimana yang sudah dikenal. Sebab, jika disebutkan lafal al-mass (menyentuh) yang diiringi dengan laki-laki dan perempuan, maka tahulah dia bahwa yang dimaksud ialah menyentuh dengan bersyahwat, sebagaimana bila disebutkan lafal al-wath'u (yang asal artinya "menginjak") yang diikuti dengan kata-kata laki-laki dan perempuan, maka tahulah ia bahwa yang dimaksud ialahal-wath'u dengan kemaluan (yakni bersetubuh), bukan menginjak dengan kaki."8

Di tempat lain lbnu Taimiyah menyebutkan bahwa para sahabat berbeda pendapat mengenai maksud firman Allah au laamastum annisa'. Ibnu Abbas dan segolongan sahabat berpendapat bahwa yang dimaksud ialah jima'. dan mereka berkata, "Allah itu Pemalu dan Maha Mulia. Ia membuat kinayah untuk sesuatu sesuai dengan yang Ia kehendaki."

Beliau berkata, "Ini yang lebih tepat diantara kedua pendapat tersebut."

Bangsa Arab dan Mawali juga berbeda pendapat mengenai makna kata al-lams, apakah ia berarti jima' atau tindakan dibawah jima'. Bangsa Arab mengatakan, yang dimaksud adalah jima'. Sedangkan Mawali (bekas-bekas budak yang telah dimerdekakan) berkata: yang dimaksud ialah tindakan di bawah jima' (pra-hubungan biologis). Lalu mereka meminta keputusan kepada Ibnu Abbas, lantas Ibnu Abbas membenarkan bangsa Arab dan menyalahkan Mawali.9

Maksud dikutipnya semua ini ialah untuk kita ketahui bahwa kata-kata al-mass atau al-lams ketika digunakan dalam konteks laki-laki dan perempuan tidaklah dimaksudkan dengan semata-mata bersentuhan kulit biasa, tetapi yang dimaksud ialah mungkin jima' (hubungan seks) atau pendahuluannya seperti mencium, memeluk, dan sebagainya yang merupakan sentuhan disertai syahwat dan kelezatan.

Kalau kita perhatikan riwayat yang sahih dari Rasulullah saw., niscaya kita jumpai sesuatu yang menunjukkan bahwa semata-mata bersentuhan tangan antara laki-laki dengan perempuan tanpa disertai syahwat dan tidak dikhawatirkan terjadinya fitnah tidaklah terlarang, bahkan pernah dilakukan oleh Rasulullah saw., sedangkan pada dasarnya perbuatan Nabi saw. itu adalah tasyri' dan untuk diteladani:

"Sesungguhnya telah ada pada diri Rasulullah saw. itu suri teladan yang baik bagimu..." (al-Ahzab: 21)

Imam Bukhari meriwayatkan dalam Shahih-nya pada "Kitab al-Adab" dari Anas bin Malik r.a., ia berkata:

"Sesungguhnya seorang budak wanita diantara budak-budak penduduk Madinah memegang tangan Rasulullah saw., lalu membawanya pergi ke mana ia suka."

Dalam riwayat Imam Ahmad dari Anas juga, ia berkata:

"Sesungguhnya seorang budak perempuan dari budak-budak penduduk Madinah datang, lalu ia memegang tangan Rasulullah saw., maka beliau tidak melepaskan tangan beliau dari tangannya sehingga dia membawanya perg ke mana ia suka."

Ibnu Majah juga meriwayatkan hal demikian.

Al-Hafizh Ibnu Hajar mengatakan dalam Fathul Bari:

"Yang dimaksud dengan memegang tangan disini ialah kelazimannya, yaitu kasih sayang dan ketundukan, dan ini meliputi bermacam-macam kesungguhan dalam tawadhu', karena disebutkannya perempuan bukan laki-laki, dan disebutkannya budak bukan orang merdeka, digunakannya kata-kata umum dengan lafal al-imaa' (budak-budak perempuan), yakni budak perempuan yang mana pun, dan dengan perkataan haitsu syaa'at (kemana saja ia suka), yakni ke tempat mana saja. Dan ungkapan dengan "mengambil/memegang tangannya" itu menunjukkan apa saja yang dilakukannya, sehingga meskipun si budak perempuan itu ingin pergi ke luar kota Madinah dan dia meminta kepada beliau untuk membantu memenuhi keperluannya itu niscaya beliau akan membantunya.

Ini merupakan dalil yang menunjukkan betapa tawadhu'nya Rasulullah saw. dan betapa bersihnya beliau dari sikap sombong."10

Apa yang dikemukakan oleh Ibnu Hajar itu secara garis besar dapat diterima, tetapi beliau memalingkan makna memegang tangan dari makna lahiriahnya kepada kelazimannya yang berupa kasih sayang dan ketundukan, tidak dapat diterima, karena makna lahir dan kelaziman itu adalah dua hal yang dimaksudkan secara bersama-sama, dan pada asalnya perkataan itu harus diartikan menurut lahirnya, kecuali jika ada dalil atau indikasi tertentu yang memalingkannya dari makna lahir. Sedangkan dalam hal ini saya tidak menjumpai faktor yang mencegah atau melarang dipakainya makna lahir itu, bahkan riwayat Imam Ahmad yang menyebutkan "maka beliau tidak melepaskan tangan beliau dari tangannya sehingga ia membawa beliau pergi kemana saja ia suka" menunjukkan dengan jelas bahwa makna lahir itulah yang dimaksud. Sungguh termasuk memberat-beratkan diri dan perbuatan serampangan jika keluar dari makna lahir ini.

Lebih banyak dan lebih mengena lagi apa yang diriwayatkan dalam Shahihain dan kitab-kitab Sunan dari Anas "bahwa Nabi saw. tidur siang hari di rumah bibi Anas yang bernama Ummu Haram binti Milhan istri Ubadah bin Shamit, danbeliau tidur di sisi Ummu Haram dengan meletakkan kepala beliau di pangkuan Ummu Haram, dan Ummu Haram membersihkan kepala beliau dari kutu ..."

Ibnu Hajar dalam menjelaskan hadits ini mengatakan, "Hadits ini memperbolehkan tamu tidur siang di rumah orang lain (yakni tuan rumah) dengan memenuhi persyaratannya, seperti dengan adanya izin dan aman dari fitnah, dan bolehnya wanita asing (bukan istri) melayani tamu dengan menghidangkan makanan, menyediakan keperluannya, dan sebagainya.

Hadits ini juga memperbolehkan wanita melayani tamunya dengan membersihkan kutu kepalanya. Tetapi hal ini menimbulkan kemusykilan bagi sejumlah orang. Maka Ibnu Abdil Barr berkata, "Saya kira Ummu Haram itu dahulunya menyusui Rasulullah saw. (waktu kecil), atau saudaranya yaitu Ummu Sulaim, sehingga masing-masing berkedudukan "sebagai ibu susuan" atau bibi susuan bagi Rasulullah saw.. Karena itu, beliau tidur di sisinya, dan dia lakukan terhadap Rasulullah apa yang layak dilakukan oleh mahram."

Selanjutnya Ibnu Abdil Barr membawakan riwayat dengan sanadnya yang menunjukkan bahwa Ummu Haram mempunyai hubungan mahram dengan Rasul dari jurusan bibi (saudara ibunya), sebab ibu Abdul Muthalib, kakek Nabi, adalah dari Bani Najjar ...

Yang lain lagi berkata, "Nabi saw. itu maksum (terpelihara dari dosa dan kesalahan). Beliau mampu mengendalikan hasratnya terhadap istrinya, maka betapa lagi terhadap wanita lain mengenai hal-hal yang beliau disucikan daripadanya? Beliau suci dari perbuatan-perbuatan buruk dan perkataan-perkataan kotor, dan ini termasuk kekhususan beliau."

Tetapi pendapat ini disangkal oleh al-Qadhi 'Iyadh dengan argumentasi bahwa kekhususan itu tidak dapat ditetapkan dengan sesuatu yang bersifat kemungkinan. Tetapnya kemaksuman beliau memang dapat diterima, tetapi pada dasarnya tidak ada kekhususan dan boleh meneladani beliau dalam semua tindakan beliau, sehingga ada dalil yang menunjukkan kekhususannya.

Al-Hafizh ad-Dimyati mengemukakan sanggahan yang lebih keras lagi terhadap orang yang mengatakan kemungkinan pertama, yaitu anggapan tentang adanya hubungan kemahraman antara Nabi saw. dengan Ummu Haram. Beliau berkata:

"Mengigau orang yang menganggap Ummu Haram sebagai salah seorang bibi Nabi saw., baik bibi susuan maupun bibi nasab. Sudah dimaklumi, orang-orang yang menyusukan beliau tidak ada seorang pun di antara mereka yang berasal dari wanita Anshar selain Ummu Abdil Muthalib, yaitu Salma binti Amr bin Zaid bin Lubaid bin Hirasy bin Amir bin Ghanam bin Adi bin an-Najjar; dan Ummu Haram adalah binti Milhan bin Khalid bin Zaid bin Haram bin Jundub bin Amir tersebut. Maka nasab Ummu Haram tidak bertemu dengan nasab Salma kecuali pada Amir bin Ghanam, kakek mereka yang sudah jauh ke atas. Dan hubungan bibi (yang jauh) ini tidak menetapkan kemahraman, sebab ini adalah bibi majazi, seperti perkataan Nabi saw. terhadap Sa'ad bin Abi Waqash, "Ini pamanku" karena Sa'ad dari Bani Zahrah, kerabat ibu beliau Aminah, sedangkan Sa'ad bukan saudara Aminah, baik nasab maupun susuan."

Selanjutnya beliau (Dimyati) berkata, "Apabila sudah tetap yang demikian, maka terdapat riwayat dalam ash-Shahlh yang menceritakan bahwa Nabi saw. tidak pernah masuk ke tempat wanita selain istri-istri beliau, kecuali kepada Ummu Sulaim. Lalu beliau ditanya mengenai masalah itu, dan beliau menjawab, 'Saya kasihan kepadanya, saudaranya terbunuh dalam peperangan bersama saya.' Yakni Haram bin Milhan, yang terbunuh pada waktu peperangan Bi'r Ma'unah."

Apabila hadits ini mengkhususkan pengecualian untuk Ummu Sulaim, maka demikian pula halnya dengan Ummu Haram tersebut. Karena keduanya adalah bersaudara dan hidup didalam satu rumah, sedangkan Haram bin Milhan adalah saudara mereka berdua. Maka 'illat (hukumnya) adalah sama diantara keduanya, sebagaimana dikemukakan oleh Ibnu Hajar.

Dan ditambahkan pula kepada 'illat tersebut bahwa Ummu Sulaim adalah ibu Anas, pelayan Nabi saw., sedangkan telah berlaku kebiasaan pergaulan antara pelayan, yang dilayani, serta keluarganya, serta ditiadakan kekhawatiran yang terjadi diantara orang-orang luar.

Kemudian ad-Dimyati berkata, "Tetapi hadits itu tidak menunjukkan terjadinya khalwat antara Nabi saw. dengan Ummu Haram, kemungkinan pada waktu itu disertai oleh anak, pembantu, suami, atau pendamping."

Ibnu Hajar berkata, "Ini merupakan kemungkinan yang kuat,tetapi masih belum dapat menghilangkan kemusykilan dariasalnya, karena masih adanya mulamasah (persentuhan) dalammembersihkan kutu kepala, demikian pula tidur di pangkuan."

Al-Hafizh berkata, "Sebaik-baik jawaban mengenai masalah ini ialah dengan menganggapnya sebagai kekhususan, dan hal ini tidak dapat ditolak oleh keberadaanya yang tidak ditetapkan kecuali dengan dalil, karena dalil mengenai hal ini sudah jelas."11

Tetapi saya tidak tahu mana dalilnya ini, samar-samar ataukah jelas?

Setelah memperhatikan riwayat-riwayat tersebut, maka yang mantap dalam hati saya adalah bahwa semata-mata bersentuhan kulit tidaklah haram. Apabila didapati sebab-sebab yang menjadikan percampuran (pergaulan) seperti yang terjadi antara Nabi saw. dengan Ummu Haram dan Ummu Sulaim serta aman dari fitnah bagi kedua belah pihak, maka tidak mengapalah berjabat tangan antara laki-laki dengan perempuan ketika diperlukan, seperti ketika datang dari perjalanan jauh, seorang kerabat laki-laki berkunjung kepada kerabat wanita yang bukan mahramnya atau sebaliknya, seperti anak perempuan paman atau anak perempuan bibi baik dari pihak ibu maupun dari pihak ayah, atau istri paman, dan sebagainya, lebih-lebih jika pertemuan itu setelah lama tidak berjumpa.


Dalam menutup pembahasan ini ada dua hal yang perlu saya tekankan:

Pertama, bahwa berjabat tangan antara laki-laki danperempuan itu hanya diperbolehkan apabila tidak disertaidengan syahwat serta aman dari fitnah. Apabila dikhawatirkanterjadi fitnah terhadap salah satunya, atau disertai syahwatdan taladzdzudz (berlezat-lezat) dari salah satunya (apalagi keduanya; penj.) maka keharaman berjabat tangan tidakdiragukan lagi.

Bahkan seandainya kedua syarat ini tidak terpenuhi - yaitu tiadanya syahwat dan aman dari fitnah - meskipun jabatan tangan itu antara seseorang dengan mahramnya seperti bibinya, saudara sesusuan, anak tirinya, ibu tirinya, mertuanya, atau lainnya, maka berjabat tangan pada kondisi seperti itu adalah haram.

Bahkan berjabat tangan dengan anak yang masih kecil pun haram hukumnya jika kedua syarat itu tidak terpenuhi.

Kedua, hendaklah berjabat tangan itu sebatas ada kebutuhan saja, seperti yang disebutkan dalam pertanyaan di atas, yaitu dengan kerabat atau semenda (besan) yang terjadi hubungan yang erat dan akrab diantara mereka; dan tidak baik hal ini diperluas kepada orang lain, demi membendung pintu kerusakan, menjauhi syubhat, mengambil sikap hati-hati, dan meneladani Nabi saw. - tidak ada riwayat kuat yang menyebutkan bahwa beliau pernah berjabat tangan dengan wanita lain (bukan kerabat atau tidak mempunyai hubungan yang erat).

Dan yang lebih utama bagi seorang muslim atau muslimah - yang komitmen pada agamanya - ialah tidak memulai berjabat tangan dengan lain jenis. Tetapi, apabila diajak berjabat tangan barulah ia menjabat tangannya.

Saya tetapkan keputusan ini untuk dilaksanakan oleh orang yang memerlukannya tanpa merasa telah mengabaikan agamanya, dan bagi orang yang telah mengetahui tidak usah mengingkarinya selama masih ada kemungkinan untuk berijtihad.

Wallahu a'lam.

Catatan kaki:

1 Lihat al-Ikhtiar li Mukhtar fi Fiqhil Hanafyah, 4: 155. ^
2 Ibid., 4: 156-157 ^
3 Perbuatan yang mereka ada-adakan antara tangan dengan kaki mereka itu maksudnya ialah mengadakan pengakuan-pengakuan palsu mengenai hubungan antara laki-laki dengan wanita seperti tuduhan berzina, tuduhan bahwa anak si Fulan bukan anak suaminya, dan sebagainya. (Al-Qur'an dan Terjemahannya, catatan kaki nomor 1473; penj.) ^
4 HR Bukhari dalam sahihnya, dalam "Kitab Tafsir Surat al-Mumtahanah," Bab "Idzaa Jaa'aka al-Mu'minaatu Muhaajiraat." ^
5 Al-Mundziri berkata dalam at-Targhib: "Perawi-perawi Thabrani adalah orang-orang tepercaya, perawi-perawi yang sahih." ^
6 Beliau (al-Hakim) mengisyaratkan kepada riwayat asy-Syaikhani dan lainnya dan hadits Ibnu Maswud, dan dalam sebagian riwayat-riwayatnya: Bahwa seorang laki-laki datang kepada Nabi saw. Lalu dia mengatakan bahwa dia telah berbuat sesuatu terhadap wanita, mungkin menciumnya, menyentuh dengan tangannya, atau perbuatan lainnya, seakan-akan ia menanyakan kafaratnya. Lalu Allah menurunkan ayat (yang artinya), "Dan dirikanlah shalat itu pada kedua tepi siang (pagi dan petang) dan pada bagian permulaan dari malam. Sesungguhnya perbuatan-perbuatan yang baik itu menghapuskan dosa perbuatan-perbuatan yang buruk..." (Hud: 114) (HR Muslim dengan lafal ini dalam "Kitab at-Taubah," nomor 40) ^
7 Lihat, al-Mustadrak, 1: 135. ^
8 Majmu' Fatawa, Ibnu Taimiyah, terbitan ar-Riyadh, jilid 21, hlm. 223-224. ^
9 Ibid. ^
10 Fathul Bari, juz 13. ^
11 Fathul Bari 13: 230-231. dengan beberapa perubahan susunan redaksional ^

***


FITNAH, KERUSAKAN DAN KEKACAUAN

FITNAH, KERUSAKAN DAN KEKACAUAN

Banyak ulama menyatakan tidak masyru’nya berjihad melawan para penguasa murtad negeri-negeri kaum muslimin hari ini karena akan menimbulkan kerusakan, kekacauan, tertumpahnya darah umat Islam, rusaknya harta benda dan fitnah. Mereka hanya mengenal satu istilah dalam kamus mereka, yaitu fitnah, fitnah dan fitnah. Mereka lantas menuding kekacauan yang diakibatkan oleh jihad melawan penguasa sekuler di Aljazair, Libya, Mesir, Syiria, Afghanistan, Sudan dan negeri-negeri lain. Mereka tidak membedakan antara kekacauan yang diciptakan oleh penguasa sekuler demi merusak citra mujahidin, dengan perasi-operasi jihad yang dilakukan mujahidin. Setiap kali disebutkan kekacauan, mereka langsung mengalamatkannya kepada mujahidin tanpa proses tabayun dan husnu dzan kepada sesama muslim, namun mereka sangat bersemangat dalam husnu dzan kepada penguasa sekuler yang membantai umat Islam, merampas harta mereka dan menodai kehormatan mereka.

Jawaban :

Syubhat ini syubhat yang dusta dan lemah karena beberapa dasar ;

[1]- Fitnah yang sebenarnya adalah meninggalkan jihad melawan para thaghut penguasa sekuler, bukan melaksanakan jihad. Orang yang meninggalkan jihad , merekalah orang-orang yang terkena fitnah sebagaimana disebutkan dalam as sunah

عن جابر بن عبد الله قال: سمعت رسول الله r يقول:" يا جُدّ ـ جد بن قيس ـ هل لك في جِلاد بني الأصفر ؟ " قال جُد: أوتأذن لي يا رسول الله؛ فإني رجل أحب النساء، وإني أخشى إن أنا رأيت بنات بني الأصفر أن أُفتن ؟! فقال رسول الله r ـ وهو معرض عنه ـ:" قد أذنت لك ". فعند ذلك أنزل الله:) وَمِنْهُم مَّن يَقُولُ ائْذَن لِّي وَلاَ تَفْتِنِّي أَلاَ فِي الْفِتْنَةِ سَقَطُواْ وَإِنَّ جَهَنَّمَ لَمُحِيطَةٌ بِالْكَافِرِينَ }التوبة49

Dari Jabir bin Abdullah ia berkata, ”Saya mendengar Rasulullah bersabda, "Wahai Jadd ---Jad bin Qais, seorang munafik--- apakah kau akan ikut dalam perang melawan bangsa kulit kuning (Romawi)? Ia menjawab, ”Apakah anda mengizinkan aku untuk tidak ikut, wahai Rasulullah? Karena saya ini orang yang mudah tertarik oleh godaan perempuan, saya khawatir bila melihat wanita Romawi saya akan tergoda?” Maka Rasulullah berpaling darinya dan bersabda,” Ya, aku mengizinkanmu.” Ketika itu, Allah ta’ala menurunkan firman-Nya:

[Di antara mereka ada yang berkata, ”Izinkan aku (untuk tidak ikut perang) dan janganlah kau menyeretku kepada fitnah ! Sesungguhnya, mereka itulah yang terjatuh dalam fitnah (dengan tidak berjihad).].[1]

Orang-orang munafik telah dinyatakan oleh Allah Ta’ala; terjatuh dalam fitnah dengan sikap mereka tidak berjihad, padahal mereka sudah meminta izin secara baik-baik dan Rasulullah mengizinkan mereka. Lantas bagaimana dengan para ulama yang tidak saja meninggalkan jihad tanpa meminta izin terlebih dahulu. namun masih menambah dosanya dengan menyebarkan syubhat “fitnah” yang menyebabkan kaum muslimin ragu-ragu berjihad. Tak diragukan lagi, mereka ini lebih terkena fitnah lagi.

[2]- Kekafiran dan kesyirikan yang berwujud kekafiran dan kesyirikan penguasa sekuler merupakan fitnah dan bahaya terbesar yang tidak tertandingi oleh fitnah dan bahaya apapun; tidak zina, tidak perampokan dan tidak dosa-dosa besar lainnya. Maslahat menghilangkan kesyirikan dan kekafiran mereka merupakan maslahat tertinggi yang tidak tertandingi oleh maslahat lainnya.

Kesyirikan dan kekafiran mereka berdasar nash dan ijma’ salaf merupakan dosa besar yang paling besar, dosa yang tidak diampuni oleh Allah ta’ala kecuali dengan bertaubat sebelum mati. Jika mati membawa kesyirikan dan kekafiran mereka; maka mereka akan kekal di neraka Jahanam. [QS. Luqman: 13, An Nisa’: 48].

Demi tujuan menghilangkan kekafiran mereka, Allah Ta’ala mensyariatkan jihad [QS. Al Anfaal: 39]. Ketika Bani Israil menyembah patung anak sapi, Allah Ta’ala memerintahkan mereka untuk dibunuh; maka orang-orang yang bertauhid membunuh mereka yang berbuat syirik tersebut. [QS. Al Baqarah ;54].

Karena itu, seberapapun besarnya pertumpahan darah dan kekacauan yang ada, maka masih tidak sebanding dengan dahsyatnya bahaya syirik dan kafir ini ;

والفتنة أشد من القتل

“Dan fitnah (kekafiran / kesyirikan) itu lebih berbahaya dari pembunuhan.” [QS. Al Baqarah ;191].

والفتنة أكبر من القتل

“Dan fitnah (kekafiran / kesyirikan) itu lebih besar dosanya dari pembunuhan.” [QS. Al Baqarah ;217].

Imam Ibnu Katsir mengatakan:

ولما كان الجهاد فيه إزهاق النفوس وقتل الرجال نبه تعالى على أن ما هم مشتملون عليه من الكفر بالله والشرك به، والصد عن سبيله أبلغ وأشد وأعظم وأطم من القتل، ولهذا قال:) والفتنة أشد من القتل ( قال أبو العالية، ومجاهد، وسعيد بن جبير، وعكرمة، والحسن، وقتادة، والضحاك، والربيع بن أنس في قوله) والفتنة أشد من القتل ( يقول: الشرك أشد من القتل

“Karena jihad itu menyebabkan hilangnya nyawa dan terbunuhnya manusia, maka Allah Ta’ala mengingatkan bahwa apa yang mereka lakukan berupa kekafiran kepada Allah Ta’ala, kesyirikan dan menghalang-halangi manusia dari jalan Allah Ta’ala itu lebih kejam, lebih besar dan lebih dahsyat dari pembunuhan, karena itu Allah Ta’ala berfirman, ”Dan fitnah itu lebih keji dari pembunuhan.” Abu Aliyah, Mujahid, Sa’id bin Jubair, Ikrimah, Al Hasan, Qatadah, Adh Dhahal, dan Rabi’ bin Anas mengatakan tentang firman Allah Ta’ala, ”Dan fitnah itu lebih keji dari pembunuhan.” Maknanya adalah; kesyirikan lebih keji dari pembunuhan.”

[3]- Bencana yang diakibatkan karena tidak berjihad itu jauh lebih besar dari bencana membiarkan kesyirikan mereka tanpa berjihad melawan mereka. Ini berdasar nash-nash dan realita.

Allah Ta’ala berfirman:

إِلاَّ تَنفِرُواْ يُعَذِّبْكُمْ عَذَاباً أَلِيماً وَيَسْتَبْدِلْ قَوْماً غَيْرَكُمْ وَلاَ تَضُرُّوهُ شَيْئاً وَاللّهُ عَلَى كُلِّ شَيْءٍ قَدِيرٌ } التوبة 39

“Jika kalian tidak berperang; Allah akan mengadzab kalian dengan adzab yang pedih dan Allah akan mengganti kalian dengan kaum yang lain..” [QS. At taubah ;39].

ما ترك قوم الجهاد إلا عمهم الله بالعذاب

“Tidaklah suatu kaum meninggalkan jihad kecuali Allah akan menimpakan adzab secara merata kepada mereka.”[2]

إذا تبايعتم بالعينة، وأخذتم أذناب البقر، ورضيتم الزرع، وتركتم الجهاد سلط الله عليكم ذلاً لا ينزعه حتى ترجعوا إلى دينكم

“Jika kalian telah berjual beli dengan ienah (salah satu jual beli yang dilarang--ed), mengikuti ekor sapi, puas dengan pertanian dan meninggalkan jihad ; Allah akan menimpakkan kehinaan kepada kalian dan kehinaan itu tidak akan dicabut sampai kalian kembai kepada agama kalian.”[3]

من لم يغز، أو يجهز غازياً، أو يخلف غازياً في أهله بخير أصابه الله بقارعة قبل يوم القيامة

“Barang siapa belum pernah berperang atau membiayai orang yang berangkat berperang atau mengurus dengan baik keluarga orang yang berperang; Allah akan menimpakkan kepadanya bencana sebelum hari kiamat.”[4]

Dan banyak hadits-hadits lainnya. Adapun realita yang membenarkan nash-nash wahyu ini; maka kehidupan kaum muslimin dengan jelas menunjukkan kebenaran wahyu ini. Bagaimana rakyat yang tertindas dibebani dengan sempitnya penghidupan, kesulitan mencari pekerjaan tetap, hutang negara yang bertumpuk-tumpuk yang diwajibkan kepada rakyat untuk membayarnya, penangkapan di sana-sini, pembunuhan, perampasan hak-hak mereka dan lain sebagainya. Adapun memilih berjihad melawan mereka, selain menjalankan perintah Allah dan rasul-Nya, maka hanya mempunyai dua konskuensi; menang dan hidup mulia, atau mati syahid dan kedua-duanya sama baiknya.

Adapun kalau terjadi kerusakan terbunuhnya beberapa kaum muslimin yang tidak seharusnya terbunuh, rusaknya materi, kekacauan dan lain sebagainya; maka ini bukan dikarenakan tidak benarnya prinsip jihad melawan pemerintah murtad, melainkan karena ada kekurangan dalam diri kita yang senantiasa mengajak kepada kejahatan. Maka seharusnya yang disalahkan bukan konsep jihad dengan menolaknya, melainkan mengoreksi kesalahan personel.

Kesalahan beberapa personel tersebut antara lain:

Melakukan operasi jihad sebelum persiapannya memadai.

Salah memperhitungkan kekuatan penguasa murtad dan berjihad mengandalkan tawakal salah ala sufi.

Beberapa pemahaman jihad yang salah sehinga berakibat pada salahnya praktek di lapangan.

Perilaku beberapa personel yang salah, terutama bila perilaku tersebut berasal dari aqidah dan prinsip yang salah seperti prinsip Khawarij.

Terkadang sebagian mujahidin mengadakan kerja sama dengan musuh (seperti gerakan ekstrimis kiri; komunis) yang kebetulan juga memusuhi pemerintah murtad. Akibatnya akan terlihat sekali, terutama saat pembagian hasil kerja.

Banyak para pemimpin dan personel mujahidin yang belum mencapai taraf ilmu, amal dan akhlak yang memungkinkan datagnya pertolongan Allah Ta’ala.

Kaum muslimin tidak peduli, enggan memberi bantuan mujahidin dan lebih dari itu ikut memusuhi mujahidin. Banyak sebabnya, seperti; tidak mengerti tabiat peperangan, tidak mengerti sifat musuh, tidak mengerti hukum-hukum syariah yang berkenaan dengan kewajiban jihad melawan penguasa murtad, takut, syubhat dan usaha penggembosan secara teratur oleh para ulama sewaan penguasa, perbedaan-perbedaan di kalangan mujahidin dalam menentukan skala prioritas, memilih menonton dan menunggu siapa yang menang; untuk selanjutnya ikut memetik hasilnya sekalipun yang menang adalah penguasa murtad. Dan sebab-sebab lain.[5]

Merupakan sebuah kedzaliman menimpakkan kesalahan-lesaahan personel kepada prinsip jihad melawan penguasa murtad. Kesalahan-kesalahan ini sama sekali bukan karena menjalankan manhaj rabbani yang memerintahkan berjihad melawan penguasa murtad, melainkan karena kekuarangan dan kesalahan personel. [lihat QS. Ali Imran ;165].

***




[1] Silsilah Ahadits Shahihah no. 2988.

[2] - HR. Thabrani, Silsilah Ahadits Shahihah no. 2663.

[3] - HR. Abu Daud dan lainnya, Silsilah Ahadits Shahihah no. 11.

[4] - shahih Sunan Abi Daud no. 2185.

[5] - Abu bashir, Fashlul Kalam fil Khuruj ‘Alal Hukkam hal. 12-14.

WANITA KARIR DALAM TINJAUAN SYAR'I.

WANITA KARIR DALAM TINJAUAN SYAR'I.

Mukadimah.

Segala puji hanya milik Allah swt. Kami memuji , meminta pertolongan, memohon ampunan kepada-Nya serta berlindung kepada-Nya dari segala kejahatan nafsu dan kejelekan amal kami. Barang siapa yang diberi petunjuk oleh Allah swt. Niscaya tak ada yang dapat menyesatkannya, dan barang siapa yang disesatkan-Nya niscaya tak ada yang dapat memberinya petunjuk, aku bersaksi bahwa tiada Ilah yang berhak untuk dise mbah kecuali Allah swt., tiada sekutru bagi-Nya dan aku bersaksi bahwa nabi Muhammad saw. Adalah hamba dan utusan-Nya.

يآ أيهااالذين أمنوااتقواا لله حق تقاته ولاتموتن إلاّوأنتم مسلمون

"Hai orang-irang yang beriman ber taqwalah kepada Allah de ngan sebenar-benar taq wa kepada-Nya dan janganlah sekali-kali kamu mati kacuali dalam keadaan Islam".[1]

"Hai sekalian manusia ber taq walah kepada Rabb kamu yang telah menciptakanmu dari diri yang satu dan darinya Allah menciptakan istrinya, dsari keduanya Allah memperkembang biakkan laki-laki dan perempuan yang banyak dan bertaq walah kepada Allah yang dengan nama-Nya kamu saling meminyta satu sama lain dan peliharalah hubungan silaturahim, sesungguhnya Allah Maha De kat atas kamu sekalian".[2]

"Hai orang-orang yang beriman bertaq walah kepada Allah dan katakanlah perkataan yang benar niscaya Allah akan memperbaiki bagimu amalan-amalanmu dan mengampuni bagimu dosa-dosamu dan barang siapa manaati Allah dan Rasul-Nya maka ssungguhnya ia ntelah mendapatkan kemenangan yang besar".[3]

Sesungguhnya sebenar-benar perkataan adalah Al-Qur'an dan sebaik-baik petunjuk adalahpetunjuk Muhammad saw. Dan se buruk-buruk perkara adalah yang diada-ada, setiap bid'ah adalah sesat, dan setiap kesesatan nerakalah tempatnya.

Cirikhas seorang muslim dan musliamah yang senantiasa menggantungkan hatinya dengan Allah dan mengaplikasikan syare'at-Nya dalam kehidupannya, mengindahkan seluruh perintah-Nya adalah ketenangan jiwanya dan ketentraman hatinya, benar-benar memahamami bahwa apa yang diberikan oleh Allah adalah sesuatu yang paling baik bagintya, selalu senyaum dalam kondisi senag dan susah, tidak merasa rugi karena ditinggal or ang yang dicitainya dan tidak merasa sedih karena ditimpa kesusahan, gemerlapnya dunia tak akan mampu menipunya kendatipu n ia tidak meninggalkan apa yang telah menjadi bagiannya.[4]

Seorang wanita bahkan bisa dinisbatkan kepada s ebagian besar kaum wanita dewasa ini, menjadi factor penyebab dari kerusakan umat manusia di muka bumim ini , tanpa bisa kita bantah lagi berapa korban yang ada se rta bentuknya seperti apa ?. Hal ini menggambarkan benar-benar apa yang pernah dingatkan oleh Rasulullah saw. Dalam sebuah hadisnya:

"Tidaklah aku tinggalkan setelahku sebuah fitnahpun yang lebih berbahaya bagi laki-laki dari pada fitnah kaum wanita ".[5]

Adalah sebuah "prediksi" yang tidak melenceng, berkenan dengan hal ini penulis mencoba untuk membahas mengenai "WANITA KARIR DALAM TINJAUAN SYAR'I" .

I.Wanita Sepanjang Sejarah.

Bagaimana perlakuan yang diberikan oleh peradaban dan agama di luar Islam terhadap wanita, diantaranya;

a.Yunani dan Romawi.

Dua bangsa yang dulunya dikatakan memiliki peradaban yang “tinggi”ini, ternyata menempatkan wanita tidak lebih dari sekedar barang murahan yang bebas untuk diperjualbelikan di pasaran.wanita tidak memilki kemerdekaan dan kedudukan, tidak pula diberikan hak waris.wanita sepenuhnya tunduk dan hina di bawah kekuasaan pria secara mutlak.

b.Hindustan.

Dalam syari’at bangsa ini dinyatakan, bahwa angin, kematian, neraka, racun dan api tidak lebih jelek dari wanita.

c.Yahudi.

Bangsa dan agama Yahudi menganggap bahwasanya wanita adalah makhluk yang terlaknat karena wanitalah yang menyebabkan Adam melanggar larangan Allah hingga dikeluarkan dari Surga.sebagian golongan Yahudi menganggap wanita derajatnya adalah sebagai pembantu dan ayah si wanita berhak untuk menjualnya.

d.Nasrani.

Sekitar abad ke-5, para pemimpin agama ini berkumpul untuk membahas masalah wanita, apakah wanita itu sekedar tubuh tanpa ruh di dalamnya? Atau ia memiliki ruh? Dan keputusan akhirnya mereka menetapkan bahwa wanita itu tidak memiliki ruh yang selamat dari adzab neraka Jahannam kecuali Maryam ibunya Isa ‘alihis salam.( Al Mar’ah fil Islam, hal:10-12).[6]

II.Pandangan Terhadap Wanita serta Menempatkannya(waktu sekarang).

Wanita menurut pandangan orang secara garis besar dapat digolongkan menjadi dua begitu pula dalam menempatkannya,namun tidak menutup kemungkinan dari dua golongan ini bisa meluas tergantung siapa yang memandangnya:

a.Mereka yang memandang dan menempatkan wanita secara sempit.

Wanita tiada lain hanyalah sesosok insan lemah yang selalu taat kepada suami,baik dalam yang ma'ruf ataupun yang munkar sehingga wanita tidak boleh keluardari rumah entah untuk keperluan apapun,mereka hanya boleh bergerak dalam 3r [kasur,dapur,sumur],sehingga yang terjadi adalah serba salah;silaturrahim ke saudara atau mertua dilarang,belajar di luar rumah dilarang dan lain sebagainya yang terkadang justru akan membuat wanita itu sendiri jumud,kurang wawasan,tidak tahu apa-apa ,dalam hal ini seolah-olah wanita dalam penjara suaminya.

b.Mereka yang terlalu membela hak wanita dan secara bebas mendudukkaannya sebagai ''EMANSIPASI''.

Di Negara-negara Eropa ataupun Amerika derajat wanita seolah-olah atau bisa dikatakan secara mutlak adalah sama dengan laki-laki,sehingga banyak sekali terjadi berbagai kerusakan,pembunuhan ataupun kejahatan lainnya dikarenakan saling berebut dalam lintas sosial maupun politik.Sementara di Negeri Timur sebagaimana digambarkan oleh syaikh Muhammad Quthu,adanya tuntutan hak-hak wanita (emansipasi) dan tuntutan persamaan secara menyeluruh dengan kaum laki-laki sehingga dengan enteng diantara mereka ada yang mengatakan:''Sesungguhnya islam telah menyamakan antara dua jenis dalam segala perkara''.Sementara yang lain (karena kebodohan dan kelalaian),mengatakan:''Sesungguhnya islam adalah musuh bagi kaum wanita,mengurangi kehormatan dan menghinakan kemuliaannya''.[7]

Syaikh Muhammad Al Ghozali , menyebutkan bahwa ada diantara kaum wanita yang mengatakan :'' Sesungguhnya islam menganiaya wanita dengan memberikan hak kekuasaan sepenuhnya bagi kaum laki-laki atas penceraian istrinya kapan saja dia kehendaki sehingga bagi wanita kekuasaan ini bagaikan pedang yang akan menebas lehernya , mengancam dan menghinakannya''[8], menanggapi hal tersebut beliau mengatakan :" Mungkin di masa yang akan datang seorang laki-laki akan mengira bahwa islam memanjakan kaum wanita dan memudahkan baginya segala perkara , sehingga dia akan berbuat semaunya sendiri , merasa congkak dan cerai darinya lalu meninggalkan rumah begitu saja"[9]

Syaikh Ali Ath Thanthawi menyatakan :"Mereka yang menggembor-gemborkan emansipasi dan pergaulan bebas aras nama kemajuan adalah pembohong, dilihat dari dua sebab:

Pertama, karena semua itu mereka lakukan untuk memberikan kepuasan kepada diri mereka sendiri, memberikan kenikmatan melihat anggota badan yang terbuka itu dan kenikmatan-kenikmatan lain yang mereka bayangkan. 0leh karena itu mereka bertopeng dengan kalimat yang mengagumkan, yang sama sekali tidak ada artinya; kemajuan, modernisasi, kehidupan kamous, jiwa olah raga danungkapan-ungkapan lain yang kosong tanpa makna, bagaikan gendang.

Kedua, mereka berbohong karena bermakmum kepada Eropa sebagai suluh, dan mereka tidak dapat memahami kecuali berdasarkan Eropa.[10]

III. Kedudukan Wanita dalam Keluarga.

Ia menjadi pendamping setia bagi suami , mendidik anak-anak , menggantikan kedudukan suami jika ia tidak ada , memenuhi kewajibannya bagi suami , dan segala hal yang berkaitan dengan urusan rumah karena sudah barang tentu ia mempunyai tuntutan-tuntutan di dalam keluarga di mana ia berada di sana.

IV.Keluarnya Wanita dari Rumah.

Seorang wanita mempunyai berbagai tuntutan dan juga kebutuhan , yang dengan dua hal ini akan membuatnya keluar dari rumah.

a.Tuntutan.

Dengan adanya tuntutan seorang wanita akan keluar dari rumah dan akan memenuhinya sesuai dengan kemampuannya , tentunya juga banyak macamnya baik untuk belajar , mengajar , bekerja ataupun hal-hal lain yang pelaksanaan dan pemanfaatannya adalah bersifat lebih umum daripada kebutuhan.

b.Kebutuhan.

Membicarakan hal ini sebenarnya membutuhkan penulisan yang banyak dan panjang akan tetapi secara garis besar bahwa hal ini tergantung pada siapa yang menjalankannya dan bersifat lebih khusus bagi orang itu sendiri.

V.Dampak dan Akibat Keluarnya Wanita dari Rumah.

Ketika kita melihat kondisi umat islam terutama kaum wanita pada zaman sekarang tentunya tidak bisa kita samakan dengan keadaan di zaman Rasulullah , yang ketaatan mereka tiada banding ( ketika ada perintah ataupun larangan langsung mereka taati tanpa banyak komentar) sementara sekarang sungguh semakin parah keadaannya.Kita menyaksikan berbagai kerusakan,kejahatan,kemaksiatan di mana-mana,sehingga barangkali bisa dimaklumi kalau sampai ada yang kebablasan dalam berkomentar dengan menyatakan "alam mulai tidak bersahabat",bisa kita tengok pada bait syairnya Ebit.G.Ade:"……….mungkin Tuhan mulai bosan……".Begitulah akibatnya orang yang tidak paham akan aqidah.

Adapun kalau kita perhatikan akan dampak yang ditimbulkan dari keluarnya wanita dari rumah, diantaranya:

1.Membuka aurat ( minimal melepas jilbab ).

2.Membiasakan ikhtilat ( bercampur dengan laki-laki ).

3.Membiasakan bertabarruj ( bersolek ).

4 .Membiasakan khalwat ( berduaan ).[11]

Beberapa contoh dari dampak keluarnya wanita:

Pernah dikemukakan, nyaris tak ada suami yang tidak menyeleweng, bahwa lingkungan kerja telah menjadi bursa hubungan sex di luar nikah, para istri konon mencari cinta di kubu gigolo dan bahwa para remaja putri membentuk gerombolan "perek" (perempuan experimen ) dan memburu kesenangan melalui hubungan sex. Dengan sipa saja, benarkah? Keraguan sepsrti ini juga muncul di konperensi AIDS sedunia ke-5 di Montreal. Dalam jangka waktu tak lebih dari sepuluh tahun sejak ditemukannya korban AIDS tahun 1981 penderita telah mencapai angka setengah juta dan pada tahun 1990 diperkirakan akan menyerang satu juta penduduk dunia serta akan menjangkiti lima puluh juta lainnya.

David Suzuki(peserta konperensi dari Jepang) mengingatkan, bahwa tanpa pengkajian aspek sosial itu AIDS bisa tumbuh secara eksponensial, seperti ledakan penduduk sebelum program KB dilakukan, karena itu diperlukan rekayasa sosial yang efektif untuk membentuk perilaku sex yang aman hingga bisa mencegah perambatan AIDS. Menanggapi gagasan ini peserta dari Swedia mengetengahkan fakta yang mencemaskan, dikatakannya bahwa perilaku sez kaum remaja di negaranya ternyata tidak berubah walaupun kampanye AIDS dilakukan cukup gencar dan ini sinkron dengan fakta bahwa jumlah penderita AIDS di sana memang tinggi[12].

Di Amerika ( Negara Adidaya ), yang banyak ditiru oleh negara-negara lain di belahan bumi ini ternyata menyimpan banyak kejahatan dan tindak kriminal serta kekurangan;

q -prosentase warga AS yang tergolong "tuna wisma" berada pada urutan terdepan diantara sembilan belas Negara Maju.

q -AS menempati urutan pertama diantara negara-negara industri maju yang menjadi korban kejahatan, meliputi; pembunuhan, pelecehan sexual, melompat dari gedung, pencurian barang dalam mobil,penyerangan dengan pemukulan dan tindakan-tindakan yang melukai fisik.

q -Lebih dari dua puluh ribu kasus kejahatan pembunuhan terjadi di AS setiap tahunnya.

q -Hampir tiga perempat kematian di AS disebabkan oleh pembunuhan atau tindakan kekerasan lainnya.

q -Penembakan senjata api di jalan-jalan dan tempat-tempat umum telah menjadi fenomena biasa di tengah masyarakat AS.

q -AS menempati urutan pertama dalam hal jumlah penjambretan yang tercatat resmi, 21 % wanita pernah menjadi korban (bahkan lebih dari itu).

q -Satu dari sepuluh gadis AS berusia 15-19 tahun "mengalami pembesaran perut" (hamil) akibat dari hubungan intim di luar nikah.

q -Setengah dari para remaja putri melahirkan "bayi tak berdosa" dan 36% diantara mereka menggugurkannya.

q -AS menduduki urutan teratas dalam jumlah penderita penyakit AIDS dibanding Negara Maju lainnya, pada tahun 1991 jumlah penderita orang dewasa sekitar 900.000 sedang anak-anak sekitar 400.000, serta lebih dari 1300.000 orang AS meninggal karena AIDS dan diperkirakan sekitar 340.000 akan menyusul[13].

q -Kasus pemerkosaan dengan menggunakan kekuatan atau ancaman senjata di AS pada tahun 1988 yaitu setiap enam menit terjadi sekali kasus[14].

q -Tercatat pada tahun 1978, terjadi 147.000 kasus pemerkosaan.

§ Pada tahun 1979, terjadi 168.000 kasus.

§ Pada tahun 1981, terjadi 189.000 kasus.

§ Pada tahun 1983, terjadi 211.000 kasus,

-pada tahun 1987, terjadi 221.000 kasus[15].

Perlu kita ketahui, bahwa musuh-musuh Islam sudah gencar-gencarnya untuk menyerang dan menghangcurkan Islam baik melalui politik, ekonomi,pendidikan dan tak kalah pentingnya melalui keluarga. Mereka berusaha menggantinya dengan perilaku-perilaku dari Barat, diantaranya seperti apa yang pernah dinyatakan oleh Gladstone (mantan PM Inggris):"Untuk menghancurkan kekuatan-kekuatan Islam, terlebih dahulu haruslah dilenyapkan pakaian jilbab dari kaum perempuan, pengajaran Al Qur'an harus dilarang, minuman memabukkan harus dimasukkan ke Negeri Islam, narkotika dan barang-barang yang merusak serta perbuatan munkar digalakkan"(Ma'rakah at Taqalid, Muhammad Qutb, hal: 44 )[16].

Sebenarnya langkah-langkah yang ditempuh oleh mereka banyak, diantaranya;

1.Menghapus sistem perkawinan dan pembentukan Keluarga Islam melalui pergaulan bebas antara laki-laki dan perempuan serta hubungan sex di luar pernikahan.

2.Kaum perempuan Islam didorong untuk beramai-ramai keluar rumah dengan menampakkan perhiasan dan bagian-bagian tertentu untuk menimbulkan gairah dan rangsangan kepada lawan jenisnya di bawah slogan "emansipasi".

3.Mendorong kaum perempuan Islam bebas bergaul dengan laki-laki di manapun mereka berada.

4.Berusaha menghancurkan sistem Imamah (kepemimpinan) Islam.

5.Mendorong sebagian besar Negara Islam untuk membuat undang-undang perkawinan yang di dalamya berisi larangan kecuali dengan syarat-syarat yang ketat[17].



[1] Surat Ali Imran; 102

[2] Surat An-Nisa'; 1

[3] Surat Al Ahzab; 70-71

[4] Nasehat Kepada Para Muslimah; hal: 15-16

[5] H.R. Bukhori, Muslim, Ahmad, Tirmidzi, Nasa'I, dan Ibnu Majah dari Usamah Bin Zaid, Abu Said Al Khudri dan Said Bin Zaid (lihat Shohihul Jami'; no: 5597 dan Jami'ul Usul 4 /504, 6/519)

[6] Majalah SALAFI, edisi 40/ 1422H/2001M, hal:32.

[7] Syubuhat Haulal Islam, hal 106.

[8] Qadhaya Al Mar'ah , hal 58.

[9] Ibid , hal 58.

[10] Putriku, Kembalilah ke Jalan Tuhanmu, hal: 16.

[11] Selengkapnya mengenai hal ini bisa dilihat, diantaranya; Kategori Acara TV Haram, Amerika di Ambang Keruntuhan, hal: 45, Upaya Musuh Menghancurkan Islam, hal: 60, Salah Paham Masalah Jilbab, hal : 20-21.

[12] Majalah TEMPO, Edisi 1 Juli 1989, hal: 70-71.

[13] Amerika di Ambang Keruntuhan, hal: 21, 45, 47.

[14] Salah Paham Tentang Jilbab, hal: 20-21.

[15] Ibid, hal: 21.

[16] Upaya Musuh untuk Menghancurkan Islam, hal: 60.

[17] Ibid, hal: 60-77.