Senin, 19 Mei 2008

31 Sebab lemahnya iman


PENDAHULUAN:

Makna Iltizam

Al Iltizam : lazimtu as Syai' artinya "saya menekuni sesuatu" makna lainnya ialah konsisten, merangkul, atau memeluk.[1]
Ibnu Mandzur mengatakan, "orang yang beriltizam pada suatu pekerjaan dan orang yang mengharuskan mengerjakan sesuatu hingga dirinya tidak berpisah dengan pekerjaan tersebut".[2]
Maksud dari iltizam di sini adalah keteguhan dan keistiqamahan yang hakiki dan berpegang teguh kepada petunjuk (hidayah), menahan serta mengendalikan diri dalam melaksanakan perintah Allah dan menjauhi larangan-Nya.
Sebagai contoh, yaitu perintah Allah kepada nabi Yahya untuk mempelajari kitab taurat dangan sungguh-sungguh, tekun, dengan segala kemampuan.[3]
Keteguhan dan ketekunan ini bergantung pada bekal yang dipersiapkan orang yang mau memilikinya. Berikut ini adalah faktor-faktor yang menyebabkan lemahnya iltizam dalam keimanan :

1) Kurang Ikhlas

Manusia tidak diperintah Allah melainkan agar mereka menyembahNya dan memurnikan ibadah kepadaNya (al Bayyinah:5)
Yang akan sampai kepada Allah ialah ikhlasnya niat bukan bentuk amalannya (al Hajj : 37)
Keikhlasan niat akan menghindarkan seseorang dari fitnah, kesesatan, dan penyimpangan (al Hijr : 40)
Imam an Nawawy mengatakan, "hadits tentang niat merupakan salah satu dari dasar-dasar keislaman"[4]
Suatu perbuatan jika telah dinodai dengan berbagai macam noda berupa riya atau mencari popularitas, sesungguhnya sikap itu akan melemahkan seseorang dalam melaksanakan perkerjaan itu, karena pekerjaan itu akan menjadi sia-sia.
Abu al Qasim al Qusyairy: "ikhlas itu hanya memusatkan niat dalam melaksanakan suatu amal hanya untuk bertaqarrub kepada Allah samata tidak kepada yang lainnya."[5]
Sahal Bin Abdullah at Tasattury: "ahli hikmah ketika menafsirkan ikhlas mereka tidak mendapatkan selain pengertian bahwa hendaknya bergerak dan berdiamnya seseorang dalam situasi terlihat atau tersembunyi ada;ah karena Allah semata dan tidak dinodai oleh hawa nafsu ataupun dorongan duniawi"[6]

2) Konsistensi Emosional

Setiap orang memilihi perasaan (emosi) dan akal sehat kecuali manusia yang telah Allah cabut akalnya (gila) tetapi terkadang manusia terhanyut dalam lautan emosi sehingga tidak memiliki sikap yang bijaksana yang menyebabkan kemandulan dalam berfikir lalu kondisi seperti ini menyebabkan seseorang mudah melakukan kesalahan serta meninggalkan yang benar. Inilah kondisi yang sering dialami sebagian orang yang konsisten berdasarkan emosi bukan dari keinginan diri atau kesadaran suci.
Terkadang sikap seperti ini timbul karena suatu nasihat yang ia dengar atau suatu kalimat yang mempengaruhi emosi dirinya. Dan pengaruh semacam ini bersifat temporer serta mudah hilang, terutama ketika cobaan kecil dialami hatinya, sehingga melemahkan sikap konsistensinya bahkan melenyakpkannya sama sekali.
Fakta dan pengalaman telah berkata seperti itu. Hal terpenting dalam sikap konsistensi adalah adanya kemauan yang kuat, kesadaran total, dan adanya kemauan keras.

3) Kecenderungan Kepada Yang Telah Berlalu

Seseorang yang memiliki masa lalu yang kelam dengan segala bentuk kemaksiatan akan merasakan perpindahan yang amat jauh manakala ia mengalami suatu kestabilan rohani dan ketentraman jiwa.
Akan tetapi dalam kondisi tertentu terkadang dia teringat dengan masa lalunya, sahabat-sahabat, dan perilaku yang dilakukan bersama mereka, kemudian ia melepaskan tali kekang fikirannya untuk menelusuri masa lalu yang ada dalam ingatannya, sikap seperti ini secara tidak langsung telah memberikan peluang kepada syetan untuk melancarkan tipu dayanya, hingga ia berfikir untuk kembali pada masa lalunya dan kembali kepada teman-teman lamanya lalu merekalah yang akan menggerogoti benih-benih keimanan yang baru bersemi dan mengotori kebersihan jiwa dari dalam hatinya, sebagaimana dikatakan bahwa teman itu adalah penggerogot (perampas).
Maka saat itu ia hidup diantara dua arus yang saling tarik menarik, arus ketaatan dan arus kemaksiatan, sedang ia sendiri hidup didalam kondisi pertempuran psikologis antara kebenaran dan kebatilan. Oleh karenanya ada dalam satu kisah tentang perkataan seorang alim kepada seseorang yang telah membunuh seratus orang yaitu, "pergilah engkau ke negeri anu karena di dalamnya terdapat orang-orang yang menyembah Allah maka hendaknya engkau menyembah Allah bersama mereka, dan janganlah engkau kembali ke negerimu karena sesungguhnya negrimu adalah negeri yang buruk"[7]
Para ulaa mengatakan, "sepatutnya bagi orang yang telah bertaubat menjauhkan dirinya secara total dari kebiasan yang sering dilakukan pada masa maksiat serta menyibukkan diri pada hal lain yang mendukung sikap konsistennya"
Ini adalah poin terpenting yang harus diperhatikan, karena syetan selalu berusaha melakukan tipu dayanya terhadap mereka yang telah bertaubat agar kembali kepada teman-teman lamanya dengan alasan mengajak mereka kepada Allah, sementara ia belum memiliki keteguhan dalam menerima petunjuk, ini adalah kesalahan dalam pengaturan waktu saja. Yang wajib ia lakukan adalah memperkuat diri dan selalu waspada dengan cara memperkaya diri dengan ilmu-ilmu agama sebagai perisai untuk menangkal syubhat dan syahwat yang akan dihadapi dalam perjalanan da`wahnya, jika karakteristik da`i telah sempurna maka ia boleh kembali kepada teman-teman lamanya untuk mengajak mereka kepada Allah dengan memohon pertolongannya.

4) Minimnya Pendidikan Mental

Yang dimaksud pendidikan mental disini adalah didikan seseorang terhadap jiwa serta mengarahkannya kepada arahan syar`i yang benar dan sesuai dengan tujuan penciptaan manusia, karena itu manusia dituntut untuk mensucikan jiwa dengan ketaatan dan tidak mengotorinya dengan kemaksiatan (as Syams :9-10).
Pendidikan jiwa\mental harus dilakukan oleh setiap pribadi yang menginginkan keistiqomahan dalam dirinya, karena jiwa manusia adalah bagaikan binatang, jika tali kekangnya dilepas maka binatang itu akan membuatnya kewalahan bahkan meyebabkan kebinasaan. Sebaliknya jika tali kekangnya tidak dilepas maka akan dengan mudah mengendalikannya.
Orang yang mengabaikan pendidikan jiwanya akan selalu merasa kebingungan, gelisah, tidak tenang, serta tidak memiliki kekuatan dalam bersikap konsisten. Di zaman penuh fitnah ini sulit bagi kita untuk menemukan orang yang mendidik dirinya dengan pendidikan yang serius. Keadaaan seperti ini akan menenggelamkan konsistensi seseorang yang minim didikan jiwanya.
Sarana pembantu dalam pendidikan jiwa :
  • Bersungguh-sungguh dalam melawan hawa nafsu (al Ankabut : 69).
  • Menjaga shalat lima waktu dengan penuh kekhusyu`an berikut keutamaan dan sunah-sunahnya.
  • Membiasakan diri membaca al Quran setiap hari minimal satu juz.
  • Melaksanakan shalat malam.
  • Memperbanyak amalan sunnah.
  • Memperbanyak doa. diantaranya :يامقب القلوب ثبت قلبي على دينك
Inti dari pendidikan jiwa adalah takut kepada Allah.

5) Dangkalnya Pemahaman Tentang Arti Ibadah

Makna ibadah sebagaimana yang dikatakan Ibnu Taimiah adalah : "nama bagi segala sesuatu yang dicintai dan diridhai Allah berupa perkataan ataupun perbuatan baik lahir maupun batin"[8]
Iltizam merupakan suatu bentuk ibadah. Inilah bukti keuniversalan ajaran Islam. Ketika seseorang membatasi pemahaman agama hanya sebatas ibadah tertentu saja yang dilakukan secara ritual resmi (seperti shalat, haji, dsb), maka ini adalah sikap yang keras kepala dan dan kesalahan fatal. Dan orang yang memiliki pemahaman seperti ini selalu mengalami kelesuan yang hana akan mennimbulkan kelemahan dan kejenuhan, sedangkan arti ibadah itu sendiri adalah konsisten dalam melaksanakan perintah Allah.

6) Lalai Dalam Melaksanakan Ibadah Sehari-Hari

Ketika Abu Bakar telah semakin dekat dengan ajal kematiannya, ia berwasiat kepada Umar, "ketahuilah bahwa Allah di siang hari memiliki hak yang tidak akan diterima pada malam hari, dan ketahuilah bahwa Allah pada malam hari memiliki hak yang tidak akan diterima pada siang hari, dan ketahuilah bahwa sesungguhnya perbuatan yang sunah tidak bisa diterima kecuali setelah dikerjakan yang wajib"[9]
Dalam wasiat tersebut Abu Bakar menjelaskan suatu metodologi untuk memupuk keimanan, karena pupuk iman adalah ibadah harian (seperti, shalat berjamaah, shalat sunah, dzikir, dsb) jika seseorang melalaikan hal ini maka akan melemahkan iman dan konsistensinya. Besarnya usaha seseorang untuk beribadah maka sebesar itu pula keimanannya bertambah serta semakin besar pula bertambahnya hubungan dengan Allah.
Seorang multazim akan selalu siap memenuhi panggilan Allah kapanpun dan dimanapun ia berada.

7) Sedikit Menuntut Ilmu

Sebaik-baik ibadah yang seharusnya dilakukan oleh orang yang konsisten adalah menuntut ilmu
Firman Allah (al Mujadilah:11, Ali Imron :18).
Ibnul Qoyyim mengatakan, "dalam ayat ini terdapat keterangan bahwa orang yang berilmu menjadi saksi keesaan Allah, hal ini menunjukkan bahwa mereka memiliki keistimewaan di sisi Allah dari beberapa aspek, yaitu :
a. Mengkhususkan mereka sebagai saksi keesaan Allah tanpa mengikut sertakan golongan manusia yang lain.
b. Mensejajarkan kesaksian mereka dengan kesaksian Allah
c. Mensejajarkan kesaksian mereka dengan kesaksian para malaikatNya.
Ilmu dapat melenyapkan kebodohan serta kedzaliman yang ada pada diri seseorang yang mau menuntut ilmu dan ilmu pertama yang harus dimiliki adalah ilmu mengenal Allah Dzat pencipta alam semesta (Muhammad : 19). Sehingga dengannya ia akan mengetahui tentang hak-hak Allah yang menjadi kewajiban atasnya.
Ibnu Abbas adalah salah satu figur penuntut ilmu yang terkenal dengan kegigihannya dan sangat menghargai ilmu ketika ia bertemu dengan seorang pemuda Anshar dan mengajaknya untuk belajar kepada para sahabat tetapi pemuda tadi enggan dan merasa hal itu tidak terlalu penting baginya, akan tetapi Ibnu Abbas tetap menemui para sahabat. Sampai satu ketika ia datang kepada seorang sahabat yang diberitakan telah mendengar hadits dari Rasulullah untuk mendengarkan yang telah diterimanya itu, ia menunggu di depan pintu sampai ia tertidur beralaskan sorbannya meski debu berterbangan di wajahnya sampai akhirnya sahabat itu keluar dan berkata, "wahai keponakan Rasulullah apa yang menyebabkan engkau datang kepadaku? mengapa engkau tidak mengutus seseorang agar aku datang menemuimu?" lalu Ibnu Abbas menjawab, "tidak, saya lebih berhak untuk datang kepadamu. Telah sampai berita kepadaku tentang dirimu bahwa engkau mendengar hadits dari Rasulullah, maka saya senang sekali mendengar hadits itu darimu"[10]
Seorang pria melihat Imam Ahmad sedang membawa tempat tinta, lalu bertanya kepadanya, "wahai Abu Abdillah, engkau adalah seorang imam besar akan tetapi engkau masih saja membawa tempat tinta," lalu ia menjawab, "aku akan tetap membawa tempat tintta ini sampai aku menuju liang lahat". Inilah setetes pengalaman berharga yang diambil dari lautan sejarah para pahlawan ilmu yang telah Allah pilih sebagai penjaga agamaNya.
Kita bandingkan dengan realita yang terjadi di zaman ini betapa banyak perpustakaan dan toko buku tetapi sedikit sekali minat membaca, bahkan yang lebih menyedihkan lagi betapa banyak waktu yang terbuang sia-sia.
Ada diantara kita yang membaca buku tetapi tidak beraturan tanpa ada tujuan apapun yang dicari. Meski demikian ia tidak layak disebut sebagai penuntut Ilmu tetapi ia layak disebut orang yang berwawasan.
Ilmu adalah sarana paling kuat untuk memantapkan keberagamaan seseorang khususnya ilmu al Quran dan as Sunnah. (Fathir :28).
Ibnu Abbas berkata, "ilmu adalah takut kepada Allah, sedangkan kebodohan tidak bisa diusir kecuali dengan ilmu dan manusia adalah musuh bagi sesuatu yang tidak ia ketahui"
Waspadalah agar engkau tidak menghabiskan umurmu untuk sesuatu yang tidak bermanfaat, dan jadikanlah dalam pemikiran bahwa setiap kali engkau manjauhkan diri dari ilmu maka dirimu akan menjadi buruan yang mudah ditangkap oleh syetan, serta jadikanlah motto hidupmu : "dari tempat tinta menuju liang lahat".

8) Futur Yang Terus Menerus

Al Futur memiliki dua pengertian :
a. Terhenti setelah melakukan terus menerus dan berdiam setelah bergerak
b. Malas (jemu) atau menunda-nunda, atau lambat setelah semangat dan bersungguh-sungguh.
Malas akan selalu menyertai manusia akan tetapi hal itu tidak selalu menyertai orang yang beriman, karena seorang mukmin tidak akan rela jika dirinya berdiam tanpa pekerjaan dan sesungguhnya Rasulullah dalam do`anya selalu memohon perlindungan kepada Allah dari sifat malas.
"Sesungguhnya setiap pekerjaan itu memiliki masa semangat dan keseriusan, dan setiap semangat dan keseriusan memiliki batas waktu (kejenuhan), maka barang siapa yang batas waktunya berada dalam sunnahku maka ia telah mendapat petunjuk dan barangsiapa yang berada pada selain itu maka ia telah binasa" (HR. Ahmad & Ibnu Hibban)
Beberapa faktor penyebab futur[11] :
1. Berlebihan (ekstrim) dalam beragama.
Sikap ini merupakan suatu hal yang tercela sebab agama adalah ringan dan mudah, semakin seseorang mempersulit agamanya maka akan diprsulit oleh agamanya. Sederhana dalam beragama adalah hal yang sangat penting karena kita adalah umat yang pertengahan.
2. Berlebihan dalam melakukan hal-hal mubah.
Jika seseorang berlebihan dalam hal makan, minum, berpakaian, dan hal mubah lainnya, maka ia akan mudah terserang penyakit malas hingga merasa berat dalam melaksanakan ketaatan.
3. Enggan hidup berjama`ah dan lebih suka hidup menyendiri.
Sesungguhnya syetan akan memangsa domba yang menyendiri. Sesungguhnya perjalanan hidup ini berat, membutuhkan pembaharuan iman dan semangat, hal ini hanya akan didapat dengan hidup bersahabat dan berjama`ah dengan tulus sehingga ia selamat dari kejenuhan, kebosanan, dan keputus asaan.
4. Minimnya ketaatan.
Seperti jarang melaksanakan shalat berjama`ah serta tidak memperhatikan syarat dan rukunnya, serta malas membaca al Quran.
Cara mengatasi semua ini adalah dengan dua hal berikut:
a. Meningkatkan ketaatan dan tidak berlebihan dalam hal tersebut
b. Meninggalkan perbuaatan maksiat dan kemunkaran.

9) Lemah (Al `Ajzu)

Makna al `Ajzu[12] adalah lemah atau akhir dari sesuatu (ekor). Atau secara definitif dapat diartikan "tidak melakukan perbuatan yang seharusnya dilakukan dengan menunda-nunda waktu". Lawan katanya adalah al Hazm[13] yang berarti bertekad kuat dan berkemauan keras.
Beramal itu membutuhkan orang-orang yang di dalam hatinya tidak ada tempat bagi sikap lemah, mereka selalu aktif dan tidak mengenal kejenuhan.
Beberapa indikasi bagi sikap lemah, diantaranya :
1. Meninggalkan dakwah di jalan Allah.
Sikap seperti ini menandakan seseorang yang tidak ada lagi rasa peeduli terhadap agama Allah dan kaum muslimin. Setiap kali dakwah ditinggalkan maka peluang ini akan dimanfaatkan oleh para propagandis dan perusak agama Allah.
2. Lemah dalam beribadah.
Diantara ciri kesempurnaan agama Islam adalah bervariasinya bentuk ibadah dan banyaknya sarana. Seorang multazim akan selalu berdiri di barisan paling depan dalam melaksanakan ibadah dan ketaatan kepada Allah karena ia mengetahui pahala dan keutamaan yang akan ia dapatkan dari amalannya itu.
3. Jarang membaca dan malas menuntut ilmu.
4. Lemah dalam melaksanakan amar ma`ruf dan nai munkar
Orang yang melihat kemunkaran di depan matanya namun ia tidak peduli padanya bahkan raut mukanya tidak berubah sedikitpun karena Allah, ia lupa bahwa Allah cemburu dan kecemburuan Allah itu adalah jika laranganNya dilanggar.
5. Lemah untuk berkorban demi agama.
Ia tidak mampu mengorbankan jiwa, harta, bahkan waktunya untuk tegaknya agama ini, ia hanya memperhatikan kepentigan dirinya sendiri dan mengambil keuntungan dari agama tanpa memberi kontribusi apapun terhadap agama.
Terdapat beberapa penyebab seseorang menjadi lemah antara lain :
  • Tawadhu yang dibuat-buat
  • Terlalu emosional
  • Malas
  • Bosan dan Jenuh
  • Tidak sabar
  • Putus asa
  • Takut
  • Tidak terbuka
  • Ragu (bimbang)
Sedangkan untuk mengatasi kelemahan tersebut adalah dengan hal sebagai berikut :
  • Selalu membaca buku-buku sejarah.
  • Mamahami betul kewajiban manusia terhadap Allah.
  • Mengunjungi orran-orang shalih dan orang yang memiliki kemauan yang keras.
  • Berusaha memiliki kemantapan hati.
  • Memiliki cita-cita dan tujuan yang mulia serta selalu berusaha mencapainya.

10)Kurang Introspeksi Diri

Introspeksi (muhasabah) adalah hal yang sangat penting. Hal ini sebagaimana diungkapkan Umar bin Khattab "hisablah diri kalian sebelum kalian dihisab, dan timbanglah amalmu sebelum amalanmu ditimbang".
Firman Allah (al Hasyr : 18).
Hasan al Bashry berkata, "manusia yang paling ringan hisabnya pada hari kiamat adalah mereka yang selalu mengintrospeksi dirinya di dunia, yaitu melihat kembali keinginan dan perbuatan mereka; apabila keinginan dan cita-citanya baik bagi mereka maka mereka melanjutkannya dan jika tidak, mereka tidak melanjutkannya. Dan sesungguhnya perkara di hari kiamat sangatlah berat bagi orang yang tidak pernah mengntrospeksi diri di dunia, mereka melakukan perbuatan tanpa perhitungan lalu mereka mendapati bahwa Allah telah menghimpun ssemua perbuatannya."[14]
Hasan al Bashry mengatakan, sebelum seseorang melakukkan suatu pekerjaan hendaknya ia berfikir sejenak tentang empat hal :
a. Apakah pekerjaan itu mampu ia lakukan ?
b. Apakah pekerjaan itu baik baginya ?
c. Apakah motivasi melakukan pekerjaan itu untuk mencari keridhaan Allah ?
d. Adakan sarana atau penolong untuk hal itu ? (jika tidak ada hendaknya ia tunda sampai ia mendapatinya)[15].

11)Sibuk Dengan Anak Dan Isteri

Anak dan istri adalah musuh (at Taghabun:14). Ibnu Abbas mengatakan, "Ayat ini turun berkenaan dengan Auf bin Malik al asyja`i".
Mereka akan menjadi musuh manakala mereka menghalangi seseorang dari jalan Allah. Ibnu Taimiyah mengatakan, "jika hati seorang pria tetambat pada seorang wanita walaupun wanita itu halal baginya (istri), maka hati pria itu menjadi tawanan bagi wanita itu. Saat itu wanita menguasai diri suami dan dapat berbuat sekendaknya sementara pada hakikatnya pria adalah tuannya karena pria itu adalah suaminya".[16]
الولد محزنة مجبنة مجهلة مبخلة
Anak dapat membuat seseorang menjadi sedih, takut, bodoh, dan bakhil.[17]

12)Mengabaikan Tugas Kalbu

Sesungguhnya Allah hanya melihat hati dan amal (HR. Muslim dari Abu Hurairah).
Tidak sedikit dari kaum muslimin yang hanya memperhatikan amal lahiriyah namun mereka mengabaikan amalan qalbu (seperti, khauf, raja', khusyu`, khosy-yah, ikhlas, sabar, tawakkal, dsb). Ibnul Qoyyim mengatakan, "mencintai Allah merupakan santapan rohani, makanan qalbu, dan permata hati."[18]
Ibnul Qoyyim mengatakan, "perlu diketahui bahwa seluruh amal perbuatan anak manusia amat tergantung pada kondisi hatinya, maka nilai keutamaan amal manusia disisi Allah sangat tergantung kepada kadar keimanan, keikhlasan, kecintaannya kepada Allah, dan yang lainnya".[19]

13)Asal-Asalan Dan Tidak Stabil (Al Faudhiyah)

Al Fawdha (serampangan, tidak disiplin). Secara bahasa memiliki dua arti, yaitu :
a. Bercampur baurnya perkara satu dengan yang lainnya. seperti bercampurnya beberapa jenis binatang antara satu dengan yang lainnya.
b. Kesamaan dalam hal kedudukan atau dalam hal urusan. Seperti jika dikatakan, Qawm Fawdha' maksudnya ialah suatu kaum sama dan sederajat tidak memiliki pemimpin.
Ada beberapa gejala al Fawdhawiyah, diantaranya ialah :
· Sibuk dengan pekerjaan yang tidak bernilai.
· Menyia-nyiakan waktu tanpa aktivitas.
· Tidak pandai mengatur pekerjaan.
· Tidak memiliki program kerja dan perencanaan tertulis.
Beberapa bentuk al Fawdhawiyah diantaranya :
· Tidak terarah dalam menuntut ilmu.
· Tidak disiplin dalam menggunakan waktu.
· Tidak disiplin dalam pergaulan.
· Tidak disipllin dalam ibadah.
Beberapa faktor yang membantu manusia agar terhindar dari al Fawdhawiyah :
· Meyakini betul bahwa waktu adalah modal hidup yang paling utama.
· Menjadikan salafus shalih sebagai teladan.
· Berdo`a kepada Allah agar diberi keberkahan waktu, dan tidak menyia-nyiakan waktu berkah (pagi hari).
· Meyakini bahwa disiplin adalah salah satu ajaran Islam.
· Bersikap zuhud terhadap dunia.
· Membuat program kerja dan perencanaan tertulis untuk setiap pekerjaan.

14)Sibuk Dengan Aib Orang Lain (Saring Menggunjing)

Ibnu Taimiyah memberikan perumpamaan orang yang disibukkan dengan kekurangan dan aib orang lain ibarat lalat yang tidak hinggap kecuali pada kotoran.
Ibnul Jauzi mengatakan, "musibah yang paling besar adalah kepuasan manusia pada dirinya sendiri dan merasa cukup berilmu dan hal inilah yang banyak menimpa kehidupan manusia."[20]
Orang yang sukses ialah orang yang senantiasa introspeksi dan memahami bahwa musuh terbesar yang harus ia perangi adalah dirinya sendiri sehingga ia akan mudah mengendalikan dirinya dan tidak akan disibukkan dengan cacat saudaranya.
Abu Hatim al Basti berkata, "Rendah hati adalah sikap menganggap diri sendiri hina ketika ingat akan dosa yang telah ia lakukan hingga ia tidak pernah melihat seseorang melainkan ia merasa bahwa ibadahnya kurang dibanding orang tersebut dan merasa lebih banyak dosa daripadanya."[21]
Mereka yang suka mengkritik sebetulnya tidak pernah berbuat, karena itu amat mudah bagi mereka untuk melontarkan kritikan, dikarenakan mereka tidak pernah berbuat. Jika ia mendnegar seorang khotib yang kurang fasih ia mencelanya sementara pengaruh positifnya terhadap masyarakat ia lupakan.
Ibnu Asakir mengatakan, "Barangsiapa yang mengkritik ulama dengan maksud menghina dan mencelanya maka Allah akan mematikan orang itu sebelum kematiannya yaitu dengan menjadikan hatinya mati".
الّلهم أت نفسي تقواها و زكّها أنت خيز من زكّاها

15)Perhatian Yang Berlebihan Terhadap Diri (Fisik)

Jiwa manusia membutuhkan istirahat untuk mengindarkan kejenuhan agar mendapatkan potensi dan semangat baru sehingga dapat melaksanakan segala rutinitas dengan penuh semangat. Karena sesungguhnya jiwa manusia mempunyai saat berpaling dan saat menerima. Nabi pernah berkata kepada Handzalah : يا حنظلة ساعة فساعة !
Ibnu Abbas berkata, "sesungguhnya jiwa manusia itu mempunyai saat untuk menerima dan saat untuk berpaling (jenuh)."

16)Tidak Suka Bermusyawarah

Musyawarah merupakan sarana agung untuk menyatukan hati, disamping sebagai gerbang menuju kesuksesan dan sebagai dasar-dasar kehidupan berjamaah.
Allah berfirman (as Syura:38). Imam al Qurthuby berkata, "Mereka saling bermusyawarah dalam segala urusan, orang-orang Anshar -sebelum kedatangan Rasulullah kepada mereka- jika mereka hendak melakukan suatu urusan mereka bermusyawarah lalu mereka melaksanakannya. Karena itulah Allah memuji mereka dengan firmanNya."
Hasan al Bashry berkata,maksudnya adalah karena mereka patuh terhadap keputusan bersama di dalam urusan-urusan mereka, dan mereka bersepakat dan tidak berselisihan maka karena kebersatuan mereka dipuji."[22]
Dengan bermusyawarah berarti semakin tajam dan matang pemikiran seseorang, wawasannya bertambah luas, dan semakin mempererat hubungan di antara mereka.[23]
Umar bin Khattab berkata, "pria itu ada tiga macam : pertama : pria yang diberikan kepadanya suatu urusan, lalu urusan itu ia luruskan dengan pendapatnya sendiri, kedua: pria yang memusyawarahkan suatu perkara yang tidak jelas baginya lalu ia memutuskan urusan itu sesuai dengan anjuran dan saran ahli fikir, dan ketiga: pria bingung lagi rusak pemikirannya, yaitu orang yang tidak mau bermusyawarah dan tidak menerima nasihat orang lain."[24]
Setiap perkara penting membutuhkan pemikiran, dan setiap pemikiran membutuhkan pengalaman. Sangat salah jika ada seseorang yang mengatakan bahwa musyawarah adalah tanda kekurangan dan kehinaan, bukankah Allah memerintahkan Rasulullah untuk bermusyawarah (ali Imran: 159). Lalu beliau meminta pendapat para sahabat pada perang Badar, padahal beliau adalah panglima besar yang cerdas dan memiliki pemikiran sendiri.
Seseorang yang bermusyawarah tidak akan pernah merasa rugi dan sia-sia. Dan celakalah orang yang tergesa-gesa dalam bertindak tanpa perhitungan dan semangat yang tak terarah. Hendaknya seseorang tidak bermusyawarah dengan orang bodoh, orang yang membanggakan diri, dan orang yang memiliki kemauan rendah.

17)Menyia-Nyiakan Waktu

Anugerah terbesar bagi seorang mukmin ialah jika ia menggunakan seluruh waktunya untuk beramal shalih. Karena begitu berharganya waktu sehingga Allah bersumpah dengannya (al Fajr: 1-2, ad Dhuha:1-2, al `Ashr:1).
An Naisabury berkata, "Tidak ada sesuatu apapun yang lebih berharga dari pada waktu, pengkhususan Allah terhadap waktu ini merupakan petunjuk bahwa manusia cenderung melakukan hal-hal yang tidak baik dalam hidupnya serta menyalahkan waktu jika ia mengalami penderitaan dan kerugian yang selalu menyertai diri manusia adalah karena aib yang ada pada dirinya, bukan pada waktu."[25]
Ibnul Qoyyim mengatakan, "Seorang manusia sejak menginjakkan kakinya di bumi ini maka saat itu ia telah menjadi musafir yang melakukan perjalanan manuju Tuhannya, dan masa perjalanan adalah umur yang telah Allah tetapkan baginya".[26]
Yahya bin Mu`adz ar Razy mengatakan, "Membuang waktu lebih buruk dari kematian, sebab membuang waktu berarti menghentikan kebenaran, sedang kematian berarti perpisahan dengan manusia."
Waktu-waktu yang telah berlalu tidak akan pernah kembali. Allah telah memberikan peringatan agar tidak ada orang yang menyesal di akhirat kelak (az Zumar : 56).
Beberapa faktor penghambat bagi seorang muslim untuk memanfaatkan waktunya[27] :
· Menuruti hawa nafsu
· Banyak berangan-angan
· Hati yang hampa
Faktor pendorong seorang muslim untuk memanfaatkan waktunya, adalah:
· Mengetahui pentingnya waktu
· Zuhud terhadap dunia
· Mengingat kematian
· Takut kepada Allah
· Menumbuhkan kemauan yang tinggi
· Berdo`a
· Mengetahui akibat buruk dari pengangguran
· Membuat jadwal yang variatif
· Memahami keutamaan masa muda
· Meneladani orang shalih dalam mengisi waktu mereka

18)Banyak Tertawa

Banyak tertawa bisa mematikan hati. Maksudnya ialah menjadikan hati lali dari mengingat Allah dan kehidupan akhirat, jika hati sudah lalai maka ia lebih dekat dengan kematian.
Rasulullah bersenda gurau dengan para sahabat seperti canda beliau kepada Anas Bin Malik "wahai yang memiliki dua telinga."[28]
Dari Anas, bahwa Rasulullah menyuruh seorang pria untuk menunggangi seekor anak unta, maka orang itu berkata, "apa yang akan saya perbuat terhadap anak unta betina ini ?" lalu beliau bersabda, "bukankah unta betina itu akan melahirkan unta jantan."[29]
Rasulullah dalam senda guraunya tidak berkata-kata melainkan kebenaran, sebab seorang mukmin perlu menghibur diri untuk sekedar menghilangkan kejenuhan dan memperbaharui semangat, para sahabat sering berkumpul mereka saling tertawa antara satu dengan yang lainnya.
Orang yang berebihan dalam bergurau adalah tanda lemahnya pendidikan jiwa dan tidak memiliki keseriusan.
Rasulullah bersabda, "celakalah bagi orang yang berbicara lalu berusta agar orang lain tertawa, celakalah baginya, dan celakalah baginya."[30]

19)Perbuatan Dosa Khulwah

Dosa dan maksiat adalah penyebab lemah dan hinanya hati, bahkan bisa mencabut akar-akar keimanan.
Ibnul Qoyyim berkata, "dan diantara pengaruh perbuatan maksiat adalah lenyapnya ketaatan, dan seandainya perbuatan dosa itu tidak mempunyai hukumannya maka sesungguhnya ia menghalangi seorang hamba untuk berbuat ketaatan yang sedang terlintas, lalu ketidak taatan itu menghentikan ketaatan selanjutnya, kemudian ketaatan ketiga, keempat, dan seterusnya hingga habislah seluruh ketaatan disebabkan dosa-dosa, padahal setiap ketaatan adalah lebih baik daripada dunia beserta isinya, hal ini sama halnya dengan seseorang yang memakan satu macam makanan kemudian menyebabkan ia sakit dalam waktu yang panjang yang membuatnya tidak dapat memakan berbagai macam makanan yang paling baik dari makanan yang telah ia makan dahulu. Dan kepada Allah kita memohon perlindungan."[31]
Maksiat merupakan penyebab kehinaan. setelah seseorang mengalami kehinaan karena dosanya, maka tidak ada seorang pun yang memuliakannya (al Hajj:18).
Dosa itu sangat buruk dan sangat besar bahayanya hal ini diakui semua manusia yang memiliki akal sehat dan fitrah yang lurus. Terlebih lagi dosa khulwah (dosa yang dilakukan tanpa sepengetahuan manusia dan hanya Allah yang mengetahuinya), dosa ini lebih berbahaya karena bisa menghanguskan keimanan dan menghilangkan rasa malu seseorang. Ketika seseorang melakukan dosa yang tersembunyi dari manusia lain, tetapi mustahil tersembunyi dari Allah meski ia menyangka bahwa Allah tidak mengawasinya karena ia mengira pengawasan manusia lebih besar.
Ketika seseorang teringat akan ucapan Tsauban, maka gemetarlah tubuhnya dan tersayatlah hatinya, jiaka ia menyadari bahwa dirinya termasuk dalam golongan orang yang dimaksud Rasulullah yang berbunyi :
"sungguh aku mengetahui bahwa sebagian diantara umatku akan datang dengan kebaikan sebesar gunung lalu Allah menjadikan kebaikan itu debu yang berterbangan, mereka itu sesungguhnya saudara-saudara kalian yang meakukan shalat malam sebagaimana kalian melakukannya akan tetapi mereka adalah sekelompok manusia yang melakukan perbuatan-perbuatan yang diharamkan Allah jika mereka berkhulwah (menyendiri)."[32]
Karena itulah senantiasa berdoa : اللهم إني أسألك خشيتك قي الغيب و الشهادة
Rasulullah berwasiat kepada Muadz: يا معاذ اتق الله حيثما كنت.....
Inilah wasiat Rasulullah kepada Muadz agar ia senantiasa bertakwa kepada Allah baik dalam dilihat manusia ataupun tidak dilihat menusia.
Semua amal manusia sekecil apapun semuanya tidak akan luput dari pengawasan Allah, semuanya tercatat dalam kitab yang nyata (Lauh Mahfudz). Dan semuanya akan mendapatkan balasan (Yunus : 61).

20)Lalai Dalam Memperbaharui Iman

Terkadang seseorang melalui waktu dimana hatinya menjadi keras dan imannya menjadi lemah dan berkurang, bertambah dengan ketaatan kepada Allah dan berkurang dengan bermaksiat kepadaNya. Iman akan mengalami lapuk sebagaimana lapuknya pakaian. Rasulullah bersabda,[33]
إن الإيمان ليخلق في جوف أحدكم كما يخاق الثوب فاسألوا الله أن يجددوا الإيمان في قلوبكم
Dari Dzar[34] ia berkata, Umar Bin Khattab berkata kepada para sahabatnya, "marilah kita menambah dan meningkatkan iman kita!." Maka mereka pun segera melakukan dzikir kepada Allah. Sedangkan Ibnu Mas`ud berdo`a "ya Allah, tambahlah dengan iman, keyakinan dan pengetahuan kami".[35]
Abu Bakar Bin al Araby berkata, "Sesungguhnya seorang hamba pada pertama kalinya beriman secara wajib, kemudian ia harus secara kontinyu memperbaharui imannya pada setiap kali ia berfikir dan merenung, karena memperbaharui iman adalah iman".[36]
Gejala melemahnya iman :
· Melemahnya rasa khusyu` dalam beribadah terutama shalat.
· Merasa keras hati
· Tidak ada pengaruh dan interaksi apapun pada dirinya jika mendengar bacaan al Quran atau nasihat.
· Melemahnya kemauan untuk mendatangi majlis ilmu
· Air mata kering, tidak menangis karena takut kepada Allah
· Tidak ada penyesalan dan menegur diri ketika lalai dari ketaatan
· Tidak ada kerinduan untuk mengunjungi Baitullah
· Terhenti keaktifan membaca al Quran dan ziarah kubur
· Berlebihan dalam hal mubah dan menganggap remeh masalah syubhat
· Mencari masjid yang cepat dalam pelaksanaan shalat dan khutbah
Faktor lemahnya iman secara garis besar ada dua macam :
· Melakukan dosa\maksiat baik kecil mauun besar
· Terlalu sibuk dengan urusan dunia dan mengabaikan urusan ukhrawy
Adapun cara mengobati lemahnya iman sebenarnya mudah bagi orang yang diberikan kemudahan dari Allah, yaitu dengan kemauan yang kuat dan usaha yang keras dan bersungguh-sungguh (mujahadah). Selain itu ada faktor pendukung yang lain diantaranya ialah :
· Merenungkan kembali akan karunia dan nikmat Allah
· Membaca al Quran dengan penuh penghayatan (Tadabbur)menuntut ilmu agama
· Mengingat kematian dan takut su'ul khotimah
· Bervariasai dalam melaksanakan ibadah
· Memohon kepada Allah agar imannya ditambah

21)Jauh Dari Ulama

Merupakan musibah besar manakala manusia terlebih lagi generasi muda menjauhi para ulama dan tidak mengambil manfaat dari mereka, jika demikian adanya maka dari manakah mereka akan mendapatkan ilmu ?.
Jika seseorang telah menjauhi ulama bahkan mencelanya, maka akan terjadi banyak kekacauan dan perpecahan yang terkadang mengancam keangkitan Islam. Para ulama ibarat bintang di langit yang dapat menjadi petunjuk, mereka adalah hiasan bumi dan pewaris para nabi. Bagaimanapun angkuhnya seseorang maka sesungguhnya ia tetap membutuhkan para ulama, ia harus tetap menghormati dan menghargai serta menjaga wibawa mereka.

22) Berlebihan Dalam Hal Yang Halal

Berlebihan dalam hal yang halal dapat menyebabkan kelalaian dalam melakukan ketaatan kepada Allah dan menyita waktu. Jika hal ini menjadi kebiasaan maka akan mempengaruhi hati sehingga ia akan menjadi angkuh dan lupa kepada Allah. Hal ini pula yang menyebabkan tumpulnya pemikiran dan lemahnya mujahadah. Jika kita perhatikan kehidupan para salafus shalih akan kita dapati bahwa kehidupan mereka lebih banyak mengandung unsur kezuhudan dan kefakiran.
Hal itu karena Allah telah mengetahui bahwa tidak ada yang dapat memperbaiki keadaan mereka kecuali kefakiran, maka dari itu Allah memilih kefakiran bagi mereka. Padahal sekiranya Nabi menginginkan kekayaan dunia, pasti Allah memberinya kekayaan, akan tetapi Nabi lebih memilih akhirat daripada dunia.
Jalan untuk mendapatkan semua itu tidak lain ialah dengan mempelajari kehidupan mereka.
Ibnul Jauzy berkata, "ketahuilah bahwa membuka lebar-lebar pintu halal dapat menyebabkan banyak gangguan dalam menjalankan perintah agama, maka tutuplah rapat-rapat bejana sebelum membuka air, gunakan baju besi sebelum turun ke medan perang dan fikirkanlah seluruh akibat yang akan terjadi sebelum engkau menggerakkan tangan".[37]

23) Tenggelam Dalam Masalah-Masalah Kecil Dan Meninggalkan Masala Pokok

Tidak sedikit manusia yang tidak memahami fiqih prioritas padahal seseorang yang disibukan dengan selain kebenaran pasti ia berada dalam kebatilan
Diriwayatkan dari abu Ubaidah dari al Hasan, ia berkata :"diantara tanda berpalignya Allah dari seorang hamba bahwa Allah membuat orang itu sibuk dengan hal yang tidak mendatangkan manfaat baginya sebagai penghinaan dari Allah kepadanya."[38]
Ibnul Qoyyim berkata, "Kemauan keras yang paling mulia adalah menuntut ilmu al Quran dan sunnah Rasulullah dan memahaminya menurut yang dikehendaki Allah dan RasulNya, sedangkan sejelek-jelek kemauan keras ialah penuntut ilmu yang perhatiannya hanya pada masalah-masalah yang rancu, dan membiarkan apa yang tidak diturunkan Allah dan apa yang tidak akan terjadi."[39]
Al Hasan bin Shalih berkata, "sesungguhnya setan membuka sembilan puluh sembilan pintu kebaikan bagi seorang hamba, hal itu dilakukan untuk bisa membuka satu pintu kejahatan".
Syaikhul Islam Ibnu taimiyah mengatakan, "sesungguhnya mewajibkan, mengharamkan, memberikan pahala, menimpakan dosa, mengkafirkan dan memfasiqkan adalah hak dan otoritas Allah dan RasulNya, tak seorangpun berhak memvonis seseorang, manusia hanya berhak mewajibkan apa yang Allah wajibkan, dan mengharamkan apa yang diharamkan Allah".[40]
Sesungguhnya jika membicarakan kehormatan para ulama dan umara itu berfaedah dan dapat menambah iman, maka pastilah hal itu telah dilakukan oleh orang-orang shalih terdahulu.
Jadi, medan masih kosong menanti orang-orang yang serius untuk beramal memperjuangkan agama dan meninggalkan hal-hal yang tidak ada gunanya serta memilih hal yang lebih penting dari setiap urusan yang penting.

24) Bergaul Dengan Orang-Orang Pengangguran

Pergaulan mempengaruhi konsistensi keimanan seseorang jika ia bergaul dengan orang-orang shalih yang aktif maka ia akan tetap istiqamah bahkan keimanannya akan bertambah, sebaliknya jika bergaul dengan orang yang memiliki kemauan dan cita-cita rendah maka seperti itu pula keadaannya.
Kisah Nabi Musa adalah bukti paling baik dalam hal itu, ketika ia memohon kepada Allah agar ditemani saudaranya Harun (Thaha :29-34).
As Sa`diy berkata, "maka Musa meohon kepada Allah agar menjadikan saudaranya bersamanya untuk saling tolong menolong dalam kebaikan dan ketakwaan."[41]
Manusia yang paling bermanfaat adalah temanmu yang dapat menanamkan benih-benih kebaikan pada dirimu atau engkau dapat berbuat baik padanya. Sesungguhnya dialah sebaik-baik bantuan bagimu untuk sesuatu yang berguna bagimu dan kesempurnaan dirimu, maka manfaat yang engkau dapatkan darinya pada hakikatnya sama dengan manfaat yang ia dapatkan darimu bahkan lebih.[42]
Jangan mengukur pergaulan itu dengan banyaknya tertawa atau mendatangkan kepentingan-kepentingan tertentu, karena pergaulan yang didasari oleh hal tersebut akan mudah sirna dan lenyap, dan sesungguhnya pergaulan yang didasari karena Allah akan tetap utuh dan terus berlanjut.
Hindari pergaulan dengan orang pengangguran yang tidak memiliki tujuan dan target hidup yang jelas, yang tidak mendatangkan suatu manfaat melainkan kerusakan. Setiap teman yang tidak mendatangkan kebaikan bagi dirinya, maka bergaul dengan seekor anjing adalah lebih baik daripada bergaul dengan orang seperti itu. Manusia itu bagaikan uang logam yang dapat dibedakan antara mana yang terbuat dari perak dan mana yang palsu.

25) Bercita-Cita Rendah

Tidak sedikit seorang multazim memiliki kemauan rendah yang merupakan sikap kecil hati untuk meraih yang lebih mulia dan sikap puas dan rela dengan perkara-perkara kecil dan tidak mempunyai cita-cita untuk merealisasikan tujuan-tujuan mulia ; padahal nilai manusia adalah sebesar kemauan dan cia-citanya.
Ibnul Qoyyim mengatakan, "sesungguhnya kemauan seseorang apabila bergantung kepada Allah yang didasari harapan tulus kepadaNya semata, maka itulah yang dimaksud kemauan tinggi yang tidak dapat ia tunda, tidak sabar untuk tidak meraihnya karena jiwanya telah dikuasai oleh harapan tersebut dan karena telah menjadi kebulatan tekadnya untuk meraih cia-cita, maka ia tidak menoleh selain kepada yang telah ia cita-citakan. Orang yang memiliki kemauan keras seperti ini mudah meraih dan mencapai apa yang ia cita-citakan."
Sungguh umat ini membutuhkan orang-orang yang mempunyai kemauan dan cita-cita yang tinggi mengarungi awan di langit untuk mengembalikan kejayaan dan untuk memberi catatan emas dalam sejarah bagi umat Islam yang hampir saja terlupakan karena adanya berbagai macam cobaan dan rintangan yang telah memalingkan hati sebagian kaum muslimin, sebagai akibatnya mereka menukar sesuatu yang berharga yang mereka miliki dengan sesuatu yang murah dan hina.
Tidak sepatutnya seorang mukmin memiliki kemauan dan cita-cita yang rendah. Orang mukmin sejati selalu mencintai nilai lebih, kemauan dan cita-citanya tinggi karena yang dicintainya (Allah) ada di langit, sedang tempat cita-cita dan kemauan keras itu adalah hati dan hati adalah tempat dan pusat perhatian Allah.
Indikasi seseorang yang memiliki kemauan rendah, diantaranya :
· Rendah kemauan dalam menuntut ilmu
· Malas untuk berdakwah kepada Allah
· Lari dari tanggung jawab
· Bermalas-malasan dalam melakukan kewajiban-kewajiban beribadah
· Selalu mencari perhatian orang lain
· Terlena dengan penampilan luar yang tidak bernilai
· Sibuk dengan sesuatu yang tidak bermanfaat dan berpaling dari yang penting
· Terbuai dengan kemewahan
· Mengeluh terhadap apa yang telah berlalu dan tidak mau bekerja
· Banyak mencerca dan sedikit bekerja
Kemauan dan cita-cita yang tinggi adalah akhlaq mulia maka kemauan seseorang yang rendah dapat merintanginya untuk berpacu, namun barangsiapa yang memiliki kemauan dan cita-cita, serta berkeinginan untuk mengejar ketertinggalannya, maka hal itu dapat meninggikan kemauannya. Rasulullah bersabda,
إنما العلم بالتعلم وإنما الحلم بالتحلم و من يتحر الخير يعطه و من يتوق الشر يوقه
Langkah-langkah untuk membangun mental dan bercita-cita tinggi :
· Beraqidah lurus
· Keteguhan beriman kepada Allah
· Berdoa
· Menumbuhkan sifat malu
· Mambaca al Quran dengan penuh penghayatan
· Menghindari mental suka kemewahan dan bersenang-senang
· Bertukar fikiran dengan ahli fikir yang aktif
· Menerima kritikan membangun dan nasihat terarah
· Niat yang suci dan ikhlas dalam bekerja
· Mempelajari jalan hidup para tokoh pahlawan dan para mujaddid yang cendikia
· Bergaul dengan orang yang baik dan memiliki cita-cita yang tinggi
· Sabar dan memantapkan kesabaran

26) Tidak Mengetahui Kemampuan Dan Potensi Diri

Setiap manusia dibekali Allah dengan berbagai potensi yang digandrungi hatinya. Nilai manusia adalah tergantung pada kemampuannya menggali potensi dirinya.
Alam ini diciptakan dengan suatu sistem yang sangat sempurna dan penuh keajaiban-keajaiban yang luar biasa, Islam dan seluruh ajarannya berdiri diatas sistem. Keberhasilan misi nabi Muhammad adalah karena adanya sistem pembagian tugas sesuai dengan potensi dan kejiwaan yang dimiliki masing-masing personel (para sahabat). Abu Bakar dan Umar berperan sebagai lembaga permusyawaratan dan ahli yang berengalaman, Khalid bin al Walid berperan sebagai pengatur strategi perang untuk menghantam musuh, Ibnu Abbas, Zaid Usamah, Abu Hurairah, Aisyah, dan Anas sebagai pendidikan tinggi yang mencetak para ulama yang cerdas dan cendikiawan, sedangkan Utsman dan Abdurrahman bin Auf merupakan anggaran belanja keliling untuk menutupi kekurangan dan mengentaskan kemiskinan, dan panglima tertinggi adalah manusia yang paling sempurna yaitu Rasulullah Muhammad. Sehingga mereka dapat menyebrangi lautan dan belahan dunia untuk menancapkan panji-panji Islam di seluruh penjuru dunia.
Sudah selayaknya bagi seorang multazim untuk mengetahui potensi dan bakat terpendam yang ada pada dirinya, sehingga dengan bakatnya itu ia bisa berkhidmat dalam memperjuangkan kebangkitan Islam dan kaum muslimin.
Medan perjuangan Islam tidak terbatas pada mimbar, ceramah dan kaset saja, akan tetapi medannya sangat luas dan tidak terbatas. Maka barangsiapa yang ingin membela dan memperjuangkan serta mengabdi pada agamanya, maka medannya terbuka lebar baginya. Ingatlah pepatah mengatakan, "menyalakan lilin adalah seribu kali lebih baik daripada mencerca kegelapan."

27) Terlalu Banyak Hal-Hal Yang Menyibukkan

Penghalang paling besar dalam kehidupan seseorang adalah tidak adanya perencanaan dan pengaturan program dalam setiap urusannya, hingga terkadang ia harus menghadapi tumpukan pekerjaan di dalam waktu yang bersamaan hingga ia tidak mampu menyelesaikannya. Hal ini disebabkan oleh beberapa hal, diantaranya :
· Menunda-nunda pekerjaan sehingga bertumpuk
· Tidak ada penentuan prioritas
· Tidak memiliki disiplin pribadi
· Tidak memiliki kepedulian
Menumpuknya pekerjaan merupakan satu diantara penghalang kemajuan dan ketenangan jiwa seseorang yang akan membantu dirinya untuk melakukan ketaatan kepada Allah. Maka sudah selayaknya seorang muslim mengerahkan dan memusatkan akal fikirannya pada urusan-urusan akhirat, lalu setelah itu barulah kepentingan dunianya.
Sungguh menyedihkan keadaan seseorang yang lebih mengutamakan kesibukan dan menghabiskan seluruh waktunya dalam urusan dunia daripada akhiratnya. Orang yang memiliki kebiasaan semacam ini tak akan henti-hentinya mengemukakan alasan untuk manghindari ajakan kepada kebaikan, seperti "maaf, saya sibuk…", atau "waktu saya sempit dan banyak kesibukan…", dsb. Lalu kapan ia ia menyissihkan waktunya untuk belajar, muhasabah, atau berdakwah ??.
Beberapa faktor agar mudah mengatur waktu :
1. Memiliki pandangan yang jelas. Mampu memilah antara pengaruh positif dan negatif dari lingkungan. Untuk itu kita harus mampu menjawab pertanyaan-pertanyaan berikut ini :
· Apa saja tujuan yang ingin saya realisasikan ?
· Sarana apa yang saya gunakan untuk mencapai tujuan itu ?
· Tujuan apa saja yang harus saya jadikan prioritas utama ?
· Berapa lama waktu yang saya miliki
Rincian dan pembagian pekerjaan yang akan dikerjakan :
· Pekerjaan penting dan mendesak
· Pekerjaan penting tetapi tidak tergesa-gesa
· Segera tetapi kurang penting
· Pekerjaan yang bersifat pelengkap
· Waktu yang terbuang (pekerjaan yang tidak ada nilainya)
2. Membuat program harian dan jadwal pelaksanaanya
3. Memulai pekerjaan dari yang paling penting
4. Tetapkan batas waktu (dead line) untuk menyelesaikan tugas\pekerjaan
5. Berdo`a agar Allah memberikan keberkahan waktu.

28) Banyak Tuntutan Kehidupan Tetapi Tidak Memiliki Kemampuan

Tidak diragukan lagi bagi setiap orang yang berakal bahwa saat ini kita hidup di zaman yang materialis, dimana setiap orang berlomba dalam mengumpulkan harta kekayaan sehingga tidak ada orang kaya yang bersyukur dan orang miskin yang bersabar. Maka beruntunglah orang-orang yang merasa puas dengan pemberian Allah (qana`ah).
Sedikitnya kemampuan dan harta membuat kehidupan seseorang menjadi kacau, resah, gelisah, dan membuatnya tidak mempunyai kepastian hingga menghalanginya untuk melaksanakan ketaatan dan untuk mendapatkan ketentraman jiwa, dimana hal itu berpengaruh besar dalam memperlemah kehidupan keberagamaannya, terutama keyakinan dan rasa tawakalnya kepada Allah, Sehingga ia ditimpa dua bencana : kefakiran dan hilangnya tawakal.
Diriwayatkan bahwa Luqmanul Hakim berkata kepada anaknya : "wahai anakku, perkuatah dirimu dengan berikhtiar mencari rizki yang halal, karena sesungguhnya tidaklah seseorang menjadi fakir melainkan akan ditimpa tiga hal, yaitu : menjadi lemah dalam beragama, lemah berfikir, dan hilangnya harga diri (wibawa) dan yang lebih parah lagi manusia akan melecehkannya."[43]
"Nafsu itu akan selalu menuntut jika sealu engkau turuti, akan tetapi jika engkau mengendalikannya maka ia akan merasa cukup."
Umar bin Khattab berkata, "Tidak ada seorang hamba melainkan antara dirinya dengan hartanya terdapat tabir, jika ia berhemat maka rizki datang kepadanya, dan jika ia beromba maka berarti ia telah merobek tabir itu dan idak akan bertambah rizkinya".[44]
Musibah besar yang menimpa sebagian orang ialah terjerumus dlam kubangan kehidupan maerialistis sebagian diantara mereka ada yang berutang untuk membeli mobil mewah agar orang lain memandangnya bahwa ia adalah orang elite. Semuanya adalah tipu daya modern yang memanjakan hawa nafsu dan mendungukan pemikiran. Padahal utang adalah bencana yang merupakan duka cita di malam hari dan kehinadinaan di siang hari.
Sesungguhnya merasa cukup kepada bantuan orang lain adalah kemerdekaan, sedangkan selalu mengharapkan bantuan orang lain adalah budak maka hendaklah ia selalu melihat kepada orang yang lebih rendah daripadanya dalam hal harta dan tidak melihat kepada orang yang lebih tinggi darinya dalah hal harta.

29) Tidak Ada Pembimbing Serta Lemahnya Program Kerja

Ambisi dari orang yang memiliki sedikit pengalaman dapat menghambatnya untuk tercapainya suatu tujuan hal itu dikarenakan tidak adanya kedisiplinan dan kepemimpinan (pendidik). Ada sebagian generasi muda yang telah terperangkap dalam kegelapan ketergesa-gesaan dini, mereka bertolak berdasarkan ambisi-ambisi individual yang bisa jadi hanya akan membahayakan diri mereka dan tidak mendatangkan manfaat sedikitpun. Mengambil keputusan dan kebijakan secara tergesa-gesa tanpa melalui musyawarah, maka semua itu disebabkan karena lemahnya kepemimpinan dan pendidik.
Atau sebagian diantara mereka yang berada dibawah asuhan para pendidik yang sebenarnya para pendidik itu sendiri masih membutuhkan pembimbing. Belum lagi permasalahan program pendidikan yang tidak terarah dan lebih mengedepankan pendidikan umum dan program hiburan daripada pendidikan ilmiah agama yang mereka sebut program alternatif. Jika dikatakan kepada mereka (pendidik), "biasakan anak didik kalian untuk mengikuti halaqah ilmu, majlis-majlis dzikir, dan menghafal alQuran", maka mereka mengeluarkan seribu satu alasan, mereka mengatakan, "kami ingin agar mereka cinta kepada agama, dan kami tidak ingin membuatnya sibuk dan jenuh".

30) Kurang Menyenangi Pahala

Seorang ahli zuhud mengatakan, "saya tidak mengerti bahwa seseorang yang telah mendengar tentang surga dan neraka lalu ada waktu yang tidak ia gunakan untuk taat kepada Allah dengan melakukan dzikir, shalat, membaca, atau melakukan kebaikan." Sarana untuk meraih surga setelah petunjuk Allah adalah amal, sebagaimana firman-Nya:
(#qè=äz÷Š$# sp¨Yyfø9$# $yJÎ/ óOçFYä. tbqè=yJ÷ès? ÇÌËÈ
"masuklah kamu ke dalam syurga itu disebabkan apa yang Telah kamu kerjakan". (An-Nahl: 32)
Kurangnya perhatian seseorang terhadap pahala suau amal akan menyebabkan ketaatan kepada Allah hanya sebatas rutinitas saja. Coba perhatikan sifat shalat orang yang hanya sebatas rutinitas dengan shalatnya orang yang merasa betapa penting dan besarnya pahala shalat (al Mu'minun : 1-2). Orang yang di dalam hatinya tidak ada keinginan untuk mendapatkan pahala shalat akan dengan mudah mengalami kelemahan, dan kejenuhan.
Sudah seharusnya seorang mukmin menyegerakan diri dalam kebaikan (al Anbiya : 90). Betapa banyak dalil yang menyebutkan besarnya pahala suatu amalan agar kaum mukmin terpacu dan bersegera untuk melakukan amal itu sehingga ia mendapat keuntungan yang melimpah. Sebagai contoh ialah sabda Rasulullah yang berbunyi [45]:
(من صلّى الفجر في جماعة ثمّ قعد يذكر الله حتّى تطلع الشّمس ثمّ صلّى ركعتين كانت له كأجر حجة و عمرة تامّة تامّة تامّة).
Dan sabda beliau[46] :
(من صلّى لله أربعين يومًا في جماعة يدرك التكبيرة الأولى كُتِب له براءة من النار و براءة من النفاق)
Beliau juga bersabda[47] :
(من حافظ على أربع ركعات قبل الظهرو أربع بعدها حرم على النار)
Beberapa hadits diatas akan memacu seorang multazim untuk terus beramal dan beramal. Namun sangat disayangkan bahwa orang-orang awam kita dapatkan merekalah yang lebih kuat dan lebih bergairah dalam beribadah dibandingkan para multazimin dan penuntut ilmu, padahal seharusnya merekalah yang berada di barisan terdepan dalam beramal.

31) Sikap Mengalah

Yang dimaksud "mengalah" disini adalah mengalah dari prinsip dengan alasan maslahat, bahkan tanpa disadari sampai rela mengorbankan iman dan keyakinannya.
Diantara bentuk mengalah ini adalah meninggalkan amar ma`ruf dan nahi munkar. Dia melihat temannya, saudaranya, tetangganya, atau siapapun yang melakukan kemunkaran lalu ia biarkan dengan alasan kemaslahatan, bahkan lebih parah lagi ia menampakkan sikap yang seakan-akan mendukung kemunkaran itu atau berebal mukaterhadap kemunkaran yang terjadi di hadapan matanya. Seorang mukmin sejati tidak akan takut dengan hinaan dari orang yang menghina dalam mnegakkan ajaran Allah, karena tujuannya adalah mendapatkan keridhaan Allah walaupun seluruh manusia membencinya.
Uweis al Qarny, seorang ahli ibadah sesudah generasi sahabat pernah berkata, "Sesungguhnya amar ma`ruf dan nahi munkar itu tidak mengenal teman, kami perintah teman-teman kami untuk berbuat baik meskipun mereka mencaci maki diri kami dan mereka didukung oleh orang-orang fasiq, bahkan demi Allah, mereka menuduh kami dengan berbagai tuduhan keji, sungguh aku bersumpah demi Allah bahwa aku tidak akan meninggalkan tugas mulia iu terhadap mereka."[48]
Bentuk mengalah yang lain ialah tidak bersikap tegas berdasarkan hikmah dan ilmu dalam melaksanakan kebenaran, dimana seorang sedang berada dalam suatu mejlis kemudian ia mendengar kebatilan atau hinaan yang ditujukan eada para ulama atau para penuntut ilmu, lalu ia bersikp diam dalam menghadapi hal itudan tidak ada reaksi unuk membela mereka, ia lebih suka mengalah (diam) hingga ia membiarkan kemunkaran mereka.
Bentu lainnya ialah gampang melakukan hal-hal haram dan syubhat dengan alasan : "mencegah terjadinya kerusakkan yang lebih besar itu diutamakan daripada mengambil maslahat".
Ada seserang yang bergelar doktor tetapi membawa sumber kerusakan ke dalam rumahnya, yaitu parabola, dengan alasan agar anak-anaknya selalu berada di rumah dan tidak berteman dengan teman jahat. Orang ini sebenarnya lari dari kematian namun jatuh pada kematian.
Mukmin sejati tidak akan pernah mengalah apapun resiko yang akan mereka dapatkan. Mereka adalah orang-orang bijak, pandai, berwibawa, dan pemberani. Mereka adalah orang yang memiliki sikap teguh dan tegas dalam menampakkan fitrah suci manusia sebagaimana yang Allah ciptakan dan mewujudkan sunnah Rasulullah.

Jadwal Harian Untuk Orang Yang Tekun

Penolong paling besar setelah petunjuk Allah adalah membuat program jadwal aktivitas kehidupan. Semua harus tersusun dan terencana agar setiap hitungan detiknya membuahkan nilai dan tak ada tempat untuk melakukan sesuatu yang sia-sia.
Kita perhatikan waktu shalat yang begitu terperinci sehingga tidak boleh dilakukan melainkan sesuai jadwal waktu yang telah ditentukan. Semua gerak gerik denyut kehidupan harus tercatat dalam daftar jadwal terkecuali ada aktifitas yang mendadak.
Berikut ini adalah salah satu contoh jadwal harian yang bisa diambil manfaatnya :
Setelah shalat shubuh :
· Setelah melaksanakan shalat shubuh berjamaah hendaklah seorang muslim mengingat bahwa kunci-kunci keberkahan dan rizki ada pada saat ini, maka hendaknya ia meminta keberkahan waktu dan umur kepada Allah. Lalu sedapat mungkin ia tetap duduk di masjid hingga matahari terbit, dan waktu ini ia gunakan dengan beberapa hal berikut ini :
· Mambaca dzikir pagi hari
· Manghafal satu halaman dari al Quran, atau sesuai kemampuan.
· Menghafal 2 hadits dari hadits Arbain, Umdatul Ahkam, atau Bulughul Maram.
· Shalat dua rakaat (setelah matahari terbit), yang selanjutnya pergi kerja, atau sekolah
Setelah shalat Dzuhur :
· Makan siang, lalu tidur siang (istirahat) khusunya bagi para pekerjakarena hal itu akan membantu dalam memperbaharui semangat kerja dan daya serap, dan setiap hari libur maka hendaknya ia menyibukkan diri dengan membaca buku-buku ringan yang tidak membutuhkan fikiran seperti buku sejarah, dan biografi para tokoh.
Setelah shalat Ashar :
· Membaca dzikir sore. Inilah saat tepat untuk membaca dzikir (Qaaf :39).
· Membaca syarh dari hadits yang telah dihafal dipagi hari.
· Membaca buku fiqih seperti : al Mughny karya Ibnu Qudamah, al Muhalla karya Ibnu Hazm, at Tamhid karya Ibnu Abdil Barr, dan al Majmu` karya an Nawawy. dan buku-buku hadits.
Setelah shalat Maghrib :
· Mengulang hafalan pagi karrena waktu ini adalah waktu yang tepat untuk mengulang hafalan.
Setelah shalat Isya :
· Jika tidak ada kegiatan yang lebih bermanfaat maka waktu ini lebih tepat untuk berkumpul dengan keluarga di rumah sambil membaca buku-buku ringan tentang raqa'iq (surga dan neraka, tazkiyatun nafs), kemudian tidur, dan tidak tidaur terlalu larut malam kecuali dalam melakukan ketaatan kepada Allah.
Beberapa kesalahan dalam menghafal :
· Tidak tahu cara menghafal
· Memiliki anggapan bahwa menghafal kurang penting
· Beranggapan bahwa hafalan hanya berlaku bagi anak sekolah saja.
· Tidak adanya pilihan dan batasan dalam menghafal.
· Tidak adanya kesungguhan dalam menghafal
· Bertumpuknya hafalan yang harus ia tanggung karena tidak teraturnya waktu
· Tidak mencatat hafalan yang dihafalnya
Cara menghafal al Quran :
· Mencari waktu khusus untuk menghafal al Quran, dan waktu yang tepat adalah waktu shubuh dan waktu Maghrib.
· Memiliki al Quran kecil (ukuran buku saku) yang terdiri dari 30 jilid, setiap jilidnya terdiri dari 1 juz.
· Menghafal dari al Quran yang sama (baik rasm maupun mushafnya).
· Mengulang-ulang menjaga hafalannya setiap saat.
· Menjaga bacaan yang telah dihafal saat shalat wajib atau shalat sunnah
Cara menghafal hadits :
· Membiasakan diri untuk membaca buku-buku hadits sebelum tidur.
· Tidak perlu menyibukkan diri menghafal sanad sebab hal itu akan menyita banyak waktu.
· Selalu mengulang-ulang hafalan.
VVV
By: Asrul al-Atsary


[1] Mukhtaru as Shihah
[2] Lisanul `Arab
[3] tafsir Ibnu Katsir, jilid 3 hal: 119 (Maryam : 12)
[4] al Adzkar, Imam an Nawawy
[5] al Adzkar, Imam an Nawawy
[6] al Adzkar, Imam an Nawawy
[7] HR. Muttafaq alaih, dari Abu Said al Khudhry.
[8] Al Ubudiyyah, karya Ibnu Taimiyah
[9] wasiat-wasiat ulama, karya ar Ruba`i yang ia kutip dari wahatul iaman karya al Bilali
[10] al Bidayah wan Nihayah
[11] Afat `Alat Thariq
[12]`Ajz at Tsiqat, karya Dr. Muhammad Hasan Uqail
[13] Lisanul `Arab, karya Ibnul Mandzur.
[14] Kitab Muhasabatun Nafs, karya Ibnu Abi ad Dunya.
[15] Ighatsatul Lahfan, karya Ibnul Qoyyim
[16] al Fatawa, Ibnu Taimiyah.
[17] Shahihul Jami`, al Albany
[18] Madarijus Salikin, karaya Ibnul Qoyyim.
[19] Al Wabilus Shayyib, karya Ibnul Qoyyim.
[20] Shaydul Khotir, karya Ibnul Jauzi.
[21] Raudhatul Uqala wa Nuzhatul fudhala, karya Ibnul Hibban al Basti.
[22] Al Jami`il Ahkamil Quran karya al Qurthuby, jilid VI
[23] al Himmah al Aliyah mu`awwiquha wa muqwwimatuha, karya Muhammad Ibrahim al Hamd.
[24] Adabud Dunya wad Din, karya al Mawardy, hal 359.
[25] Ghara'ibul Quran, karya an Naisabury.
[26] Madarijus Salikin, karya Ibnul Qoyyim.
[27] Al Waqt Ammar wad Dimar, karya Jasim Muhammad al Muhawwa`.
[28] HR. Abu Dawud, at Tirmidzy, dan Ahmad.
[29] HR. Abu Dawud, at Tirmidzy, dan ia berkata bahwa hadits ini Hasan Shahih, diriwayatkan oleh al Bukhary.
[30]HR. Abu Dawud, at Tirmidzy, dan al Hakim dengan sanad yang shahih.
[31] Al Jawaab al Kaafi, karya Ibnul Qoyyim.
[32] Hadits Hasan diriwayatkan Ibnu Majah\ Shahihul Jami`, karya al Albany, no.5028.
[33] HR. al Hakim dan at Thabrany\ as Silsilah as Shahihah karya al Albany, no.1585.
[34] Dzar Bin abdullah Bin Zararah al Marhabiy\ Abu Umar al Kufiy. Lihat Thabaqat Ibnu Sa`d 6\293.
[35] Fathul Baari, karya Ibnu Hajar 1\63.
[36] Ibid.
[37] Shaydul Khatir, karya Ibnul Qoyyim.
[38] Tazkiyatun Nufus, karya Ibnu Rajab.
[39] Al Fawaid, karya Ibnul Qoyyim.
[40] Majmu` Fatawa, 5\545.
[41] Tafsir al Karim ar Rahman, 3\411.
[42] Al Fawa-id, karya Ibnul Qoyyim.
[43] Mukhtashar Minhajul Qashidin.
[44] Uyunul Akbar, karya Ibnu Qutaibah, 1\204.
[45] HR. at Tirmidzy, dishahihkan oleh al Albany, no.6346.
[46] HR. at Tirmidzy, dan dinilai Hasan olh al Albany, no.6365.
[47] HR. Abu Dawud dan an Nasa'I serta dishahihkan ole al Albany, no.6195.
[48] al I`tisham, karya as Syathiby 1\22.

Tidak ada komentar: