1. Hukum membaca Al-Qur'an bersama-sama.
Membaca Al-Qur'an merupakan ibadah dan merupakan salah satu sarana yang paling utama untuk mendekatkan diri kepda Allah Ta'ala.
Pada dasarnya membaca Al-Qur'an haruslah dengan tatacara sebagaimana Rasulullah saw mencontohkannya bersama para sahabat beliau. Tidak ada satupun riwayat dari beliau dan sahabatnya bahwa mereka membacanya dengan cara bersama-sama dengan satu suara. Akan tetapi mereka membacanya sendiri-sendiri, atau salah seorang membaca dan orang lain yang hadir mendengarkannya.
Telah diriwayatkan bahwa Rasulullah saw bersabda:
عليكم بسنة وسنة الخلفاء الرا شد ين من بعدى.
" Hendaknya kalian berpegang teguh pada sunnahku dan sunnah para Al-Khulafa'ur Rasyidun setelahku."[1]
Sabda beliau lainnya:
من أحد ث في أمرنا هذ ما ليس منه فهو رد
"Barang siapa yang mengada-adakan dalam perkara kami ini (perkara Agama) yang tidak berasal darinya,maka ia itu tertolak."[2]
Dalam riwayat lain disebutkan:
من عمل عملا ليس عليه أمرنا فهو رد
"Barang siapa melaksanakan suatu amalan yang tidak ada perintah kami maka amalan tersebut tertolak."[3]
2. Berkumpul di masjid atau di rumah untuk membaca Al-Qur'an bersama-sama.
Jika yang dimaksud adalah bahwasanya mereka membaanya dengan satu suara dengan wakaf dan berhenti yang sama, maka ini tidaklah disyariatkan. Paling tidak hukumnya makruh, karena tidak ada riwayat dari Rasulullah maupun dari para sahabat beliau. Namun apabila bertujuan untuk kegiatan belajar dan mengajar, maka saya berharap hal tersebut tidak apa-apa.
Adapun apabila yang dimaksudkan adalah mereka berkumpul untuk membaca Al-Qur'an dengan tujuan untuk menghafalnya, atau mempelajarinya, dan salah seorang membacanya sedang yang lainnya mendengarkannya, atau mereka masing-masing membacanya sendiri-sendiri dengan tidak menyamai suara orang lain, maka ini disyariatkan,
3. Berkumpul guna membaca Al-Qur'an untuk orang yang mati atau orang yang mengundangnya.
Barangsiapa mengumpulkan manusia untuk membaca Al-Qur'an bersama-sama kemudian menghadiakan pahalanya untuk orang-orang yang sudah meninggal, perbuatan ini tidak ada dalilnya, dan termasuk bid'ah. Dan setiap bid'ah itu sesat. Ini dari sisi.
Dari sisi lain, apabila para pembacanya diberi upah atas bacaannya, sebagaimana yang sering terjadi diantara mreka, maka pebuatan mereka ini tidak tidak akan mendapatkan pahala, karena mereka membacanya bukan untuk tujuan ibadah kepda Allah ta'ala, akan tetapi membaca untuk tujuan mendapatkan upah, maka perbuatannya tersebut tidak akan mndapatkan pahala. Demikian pula niat seseorang dalam amalnya untuk tujuan duniawi, akan membatalkan amalnya tersebut.
Suatu bacaan Al-Qur'an akan mendatangkan manfaat apabila tujuannya untuk mendekatkan diri kepada Allah, baik dari yang membacanya maupun yang mendengarkannya. Dan harus pula dikerjakan dengan tatacara yang telah disyariatkan, bukan dengan tatacara yang diada-adakan dan lagu-lagu yang dibuat oleh orang-orang bodoh yang dijadikannya sebagai amalan bid'ah. Bacaan dengan cara ini, dengan menghadiahkan pahalanya untuk orang yang sedang meninggal, atau bahkan orang yang masih hidup sekalipun, termasuk perbuatan bid'ah yang tidak mendatangkan pahala.
Kewajiban bagi seorang muslim hendaknya meninggalkan pebuatan semacam ini. Bila menginginkan suatu mamfaat bagi orang yang sudah meninggal, hendaknya mengerjakan perbuatan-perbuatan yang bermanfaat sebagaimana yang telah diriwatkan dalam berbagai dalil, dari mulai mendo'akan agar Allah mengasihi meka, pemohonan ampunan bagi mereka, mendo'akan mereka, bersedekah atas nama mereka. Inilah perbuatan-perbuatan yang mempunyai dasar dalil, yang bisa mendatangkan manfaat bagi kaum muslimin, baik hidup maupun mati. Adapun suatu perbuatan yang tidak berdasarkan pada dalil syar'i, termasuk perbuatan bid'ah yang sesat.[4]
4. Membaca Al-Qur'an pada hari jum'at sebelum shalat dengan mengeras suara
Islam menghukumi bacaan Al-Qur'an pada hari jum'at sebelum shalat dengan menggunakan pengeras suara, sebagai pebuatan bid'ah. Demiokian juga suara-suara munajat dan bacaan Al-Qur'an sebelum shalat shubuh dengan pengeras suara. Lajnah daimah pernah ditanya tentang pekara ini dan menjawabnya sebagai berikut:
"Kami tidak dapatkan suatu dalil pun yang menunjukkan adanya peristiwa itu pada masa Rasulullah saw, sebagaiman kami tidak dapatkan pula salah seorang dari sahabat yang melakukannya. Demikian pula dengan seruan-seruan (tarhim) yang dikumandangkan sebelum adzan subuh dengan pengeras suara. Itu termasuk perbuatan bid'ah, dan setiap perbuatan bid'ah adalah sesat.[5]
5. Membaca Al-Fatihah seusai shalat witir tanpa batasan bilangan
Al-Qur'an merupakan kalamullah. Keutamaan kalam Allah atas kalam manusia seperti keutamaan Allah atas hambanya. Fadhilah membaca Al-Qur'an sangat agung, tidak ada yang mengukurnya selain Allah yang maha suci. Akan tetapi tidak selayaknya bagi seorang qari' untuk mengkhususkan suatu surat atau ayat untuk dibaca pada waktu tertentu atau tujuan tertentu, kecuali untuk sesuatu yang telah disyariatkan oleh Rasulullah saw, semisal surat al-fatihah untuk ruqyah atau dibaca setiap rakaat dalam shalat, membaca ayat kursi setiap kali hendak tidur dengan tujuan agar di jaga Allah Allah dari gangguan syetan.
Demikian pula tidak selayaknya seorang qari' mengulang bacaan pada suatu ayat berkali-kali kecuali yang mempunyai dasar dalil dari Rasulullah saw, karena membaca Al-Qur'an termasuk ibadah, maka dalam mengerjakannya harus memperhatikan masalah ada dan tidaknya dasar dari syariat.
Dari sini jelaslah bahwa mengkhususkan bacaan Al-fatihah pada malam hari seusai shalat witir beberapa kali termasuk perbuatan bid'ah, mesti tidak membatasi denga bilangan tertentu. Karena perbuatan tersebut tidak mempunya sesuatu dasar apapun dari Nabi saw maupun salah satu dari khulafa'u Rasyidin.
6. Membaca Al-Fatihah setiap selesai berdo'a
Tidak ada riwayat dari Nabi saw bahwa beliau membaca Al-Fatihah setiap selesai berdo'a, sejauh yang kami ketahui. Maka membacanya setiap seusai do'a termasuk perbuatan bid'ah.[6]
7. Membaca Fatihah bagi murid-murid saat berbaris untuk masuk kelas
Tidak boleh menjadikan bacaan Al-Fatihah bagi murid-murid sebagai kebiasaan saat berbaris untuk masuk kelas pada pagi hari, karena perbuatan ini termasuk bid'ah yang diada-adakan. Telah diriwayatkan Dari Nabi saw bahwasanya beliau bersabda:
من أحدث في أ مرنا هذ ما ليس منه فهو رد
"Barang siapa yang mengada-adakan dalam perkara kami ini (perkara agama) yang tidak berasal darinya, maka ia akan tertolak."[7]
Tetapi tidak dilarang untuk membaca bacaan dengan bervariasi saat berbaris, misalnya membaca suatu ayat, pada saat lain membaca Al-fatihah, pada waktu lain membaca hadits-hadits shahih dan pada saat lainnya membaca pepatah atau kata-kata mutiara yang tidak bertentangan dengan syariat, atau pada kesempatan lain membaca nasyid islami.[8]
***
KHATAMAN AL-QUR'AN
1. Mengadakan perayaan/pesta untuk khataman Al-Qur'an
Walimah hanya disyariatkan untuk acara pernikahan, saat suami bersanding dengan istrinya, berdasarkan sabdah Nabi saw kepada Abdurrahman bin 'Auf saat ia memberi tahu beliau bahwa ia baru saja menikah:
أ ولم ولو بشاة
Adapun walimah atau acara keramaian yang diadakan berkenaan dengan khataman Al-Qur'an, tidak ada dasar sama sekali dari Nabi saw, maupun dari salah satu dari Al-khulafaur Rasyidin, andaikan mereka mengadakannya, tentulah akan ada riwayat kepada kita tentang peristiwa tersebut, sebagaimana hukum-hukum syariat yang lainnya. Dengan demikian dengan walimah atau acara keramaian berkenaan dengan khataman Al-Qur'an merupakan perbuatan bid'ah yang diada-adakan.
2. Membagi-bagikan makanan, minuman dan kue-kue seusai khatam Al-Qur'an
Tidak ada riwayat dari Nabi maupun dari salah seorang sahabat dan para tabi'in serta dari para imam-imam salaf bahwasanya apabila mereka telah mengkhatamkan Al-Qur'an pada bulan ramadhan, kemudian mereka membagi-bagikan makanan, minuman dan kue-kue serta menjadikannya suatu keharusan. Bahkan perbuatan tersebut termasuk bid'ah yang diada-adakan dalam perkara agama, karena dilaksanakan seusai melakukan suatu ibadah dan dikerjakan karena adanya ibadah tersebut serta dilaksanakan pada saat-saat tertentu.
Setiap bid'ah dalam urusan Agama merupakan kesesatan, karena berarti telah menuduh syari'at yang diturunkan belum lengkap.
Allah ta'ala telah berfirman:
4 tPöqu‹ø9$# àMù=yJø.r& öNä3s9 öNä3oYƒÏŠ àMôJoÿøCr&ur öNä3ø‹n=tæ ÓÉLyJ÷èÏR àMŠÅÊu‘ur ãNä3s9 zN»n=ó™M}$# $YYƒÏŠ 4
"ada hari Ini Telah Kusempurnakan untuk kamu agamamu, dan Telah Ku-cukupkan kepadamu nikmat-Ku, dan Telah Ku-ridhai Islam itu jadi agama bagimu." (Al-Maidah: 3)
***
MENGAMBIL UPAH ATAS BACAAN AL-QUR'AN
1. Hukum mengambil upah atas bacaan Al-Qur'an
Tidak boleh bagi seorang qari' untuk mengambil upah atas bacaan Al-Qur'an yang dibacanya, baik diberikan sebelum membacanya atau setelahnya. Baik bacaannya tersebut saat shalat atau bacaan untuk mayat. Karena tidak ada seorang pun dari para ulama mengecualikan perkara mengambil upah untuk bacaan Al-Qur'an. Adapun upah yang diberikan kepada para imam mesjid dan juru adzan dari baitul maal, bukan termasuk dalam pembahasan ini, karena pada dasarnya upah yang diberikan kepada mereka bukanlah upah untuk bacaan yang mereka baca dalam shalat, atau upah untuk shalatnya, akan tetapi merupakan upah untuk waktunya yang dicurahkan untuk menjalankan fardhu kifayah atas kaum muslimin, dengan meninggalkan kesibukan pribadinya. Termasuk dalam hal ini adalah upah yang diberikan kepada khalifah kaum muslimin dari baitul maal, yang merupakan upah untuk kesibukannyamengurus pemerintahan Islam sehingga ia harus meninggalkan kesibukan pribadinya untuk mencari penghidupan untuk dirinya.
Adalah Umar bin Khathab memberikan upah kepada para mujahidin dan orang-orang yang berjasa bagi Islam, diambilkan dari uang Baitul Maal berdasarkan besarnya jasa dari masing-masing mereka, yang diberikan kepada kaum muslim dengan mendatangkan suatu mamfaat yang luas.
2. MENGUPAH QARI’ UNTUK MEMBACA AL-QUR’AN
Mengupah seorang qari’ untuk membacakan Al-Qur’an bagi orang yang telah meninggal termasuk bid’ah dan makan harta manusia dengan tidak benar. Karena bila seorang qari’ membacakan Al-Qur’an dengan tujuan untuk mendapatkan upah atas bacaannya, maka perbuatannya termasuk kebatilan, karena ia menginginkan harta dan kehidupan dunia dari perbuatannya tersebut. Allah telah berfirman:
“ Barangsiapa yang menghendaki kehidupan dunia dan perhiasannya, niscaya kami berikan kepada mereka balasan pekerjaan mereka di dunia dengan Sempurna dan mereka di dunia itu tidak akan dirugikan. Itulah orang-orang yang tidak memperoleh di akhirat, kecuali neraka dan lenyaplah di akhirat itu apa yang Telah mereka usahakan di dunia dan sia-sialah apa yang Telah mereka kerjakan”[11] (Huud: 15-16)
perkara ibadah –termasuk membaca Al-Qur’an tidak boleh dilakukan dengan tujuan duniawi dan memcari harta, akan tetapi harus dilakukan dengan tujuan untuk mendekatkan diri kepada Allah swt.
Seorang qari’ yang membaca Al-Qur’an dengan diupah, maka tiada pahala baginya, dan bacaannya tidak akan sampai kepada orang yang telah meninggal. Harta yang dikeluarkan merupakan harta yang sia-sia, tidak bermamfaat. Kalaulah harta itu digunakan untuk suatu sedakah atas nama yang meninggal, sebagai ganti dari mengupah seorang qari’, maka inilah perbuatan yang disyariatkan dan bisa mendatangkan suatu manfaat bagi orang yang telah meninggal.
Mengupah seorang qari’ untuk membacakan Al Qur’an bagi orang yang telah meninggal: pertama, termasuk perbuatan bid’ah, karena tidak ada dari para salaf shalih yang melakukannya. Kedua, bahwa perbuatannya termasuk memakan harta manusia dengan cara tidak benar, karena suatu ibadah dan ketaatan tidak boleh mengambil upah karenaya.
***
[1] . Diriwayatkan oleh Abu daud no.4607 dalam kitab sunnah, bab 'fii Luzuumis Sunnah', Ibn majah, no.42 dalam Al-Muqddimah, bab 'Ittiba'ul khulafa'ir Rasyidinal Mahdiyyin', dari hadits al-Irbadh.
[2] . diriwayatkan pleh muslim no. 1718, jilid 18, dalam kitab Al-ukdiyah bab nakhdul ahkamil Batilah wa Raddu Muhdatstil umur' dari hadits aisyah.
[6] . Fatwa Lajnah Da'imah no. 7012.
[7] . diriwayatkan pleh muslim no. 1718, jilid 18, dalam kitab Al-ukdiyah bab nakhdul ahkamil Batilah wa Raddu Muhdatstil umur' dari hadits aisyah.
[8] . Fatwa lajnah Da'imah no.8777.
[9] . Diriwayatkan oleh Al-Bukhary no. 5167, kitab nikah bab "mengadakan walimah meski hanya dengan seekor kambing". Dan di riwayatkan oleh Muslim no. 1427, 79 kitab nikah, bab
[10] . Berdasarkan Anas bin Malik, ia berkata: Rasulullah saw tidak pernah mengadakan walimah yang diadakannya untuk Zainab. Beliau mengadakan walimah untuknya hanya dengan satu ekor kambing." Dirwayatkan oleh Al bukhary, no.5168, kitab nikah, bab "mengadakan walimah untuk pernikahan"dan Muslim no.1428, 90, kitab nikah, bab "pernikahan Zaenab binti Jahsy dan diturunkannya perintah hijab".
Tidak ada komentar:
Posting Komentar