Minggu, 20 April 2008

ABORSI DALAM ANALISA FIQIH ISLAM

ABORSI DALAM ANALISA FIQIH ISLAM

DEfINISI ABORSI

Etimologi

Secara bahasa adalah pengguguran kandungan (janin) [1]. Ia bersal dari kata جهض –جهض artinya menghilangan. Maka أجهضت الحامل artinya membuang anak sebelum sempurna dan disebut dengan menggugurkan janin. [2]

Ibnu Faris berkata: Ia adalah menghilangkan sesuatu dari tempatnya dalam waktu yang relatif singkat. Sehingga dikatakan أحهضنا فلانا عن شيء, yaitu kami menjauhkan seseorang darinya dan kami membinasakan (mengalahkan) nya. أجهضن الناقه adalah mengeluarkan anak unta dan ia tergugurkan.

Lembaga penelitian bahasa mengkhususkan bahwa ijhadh dengan cara mengeluarkan janin dari rahim sebelum bulan yang keempat (dari kehamilan) dan sesudahnya, yaitu antara bulan keempat dan dan ketujuh dengan sebutan isqat ( menggugurkan).

Maka sebenarnya antara ijhad dan isqat adalah satu makna hanya saja lafad ijhad banyak dipakai untuk unta dan isqat kebanyakan digunakan untuk manusia. Oleh karena itu dapat disimpulakan bahwa ijhad dan isqat menurut ahli bahasa adalah menggugurkan anak sebelum sempurna penciptaannya atau sebelum sempurna masa kehamilan. Baik sebelum ditiupkan ruh atau setelah ditiupkan ruh, baik janin tersebut laki-laki maupun perempuan.[3]

Terminologi

a. Menurut istilah kedokteran

Aborsi adalah megeluarkan isi rahim sebelum mencapai 28 minggu, yang menjadikannya tidak dapat hidup. Maka bila lahir setelah waktu tersebut tidak dinamakan sebagai aborsi menurut kedokteran, tetapi ia dinamakan dengan kelahiran sebelum waktunya.

b. Menurut istilah undang-undang

Aborsi adalah mengeluarkan janin dengan unsur kesengajaan, sebelum waktu tabiat kelahiran, dan dilakukan dengan segala cara yang tidak dihalalkan oleh undang-undang. Maka ditegakkan padanya hukum bila terdapat tiga rukun; adanya kehamilan, adanya praktek-praktek yang mengacu kepada tindakan aborsi dan adanya maksud perbuatan kriminal.

c. Menurut istilah ulama syar'i

mereka mengistilahkan aborsi sebagaimana yang di istilahkan ahli bahasa, hanya saja kalangan Syafi'iyah, jumhur dan Hanafiyah memasukan aborsi dalam bab jinayat (pidana ).

SEJARAH ABORSI

Pada Akhir abad ke 18 M, berkembanglah di Eropa sebuah pemikiran yang dipelopori oleh pendeta bernama Malicus[4], ia menulis sebuah makalah berjudul "populasi penduduk dan dampaknya dalam masadepan bangsa" TH 1213 H/1798M. Ia berpendapat bahwa pertambahan populasi penduduk yang begitu pesat dari 2,4,8,16,36. Sedangkan data devisa negara hanya dapat mencukupi antara 3,4,5,6,7,8. Oleh karenanya negara terancam kelaparan bila hal ini terus dilestrikan, maka ia mengajak kepada pembatasan keturunan dengan jalan memakai gaya hidup rahib ( tidak menikah ), atau mengahirkan proses perkawinan sampai populasi penduduk tidak bertambah pesat .[5]

Teori Malicus ini diikuti oleh masa berikutnya akan tetapi dengan menggunakan alat-alat pembatasan keturunan. Gerakan ini terus berkembang di Amerika dan sambutan hangat dari kalangan penduduk dan negara, sehingga hal ini menjadi tradisi umum sampai terjadi perang dunia pertama TH 1914-19118 H. Lalu berubahlah persepsi masyarakat disebabkan masuknya wanita ke lapangan-lapangan kerja dan buruh, berangkat dari sinilah berkembang beraneka ragam pencegah kehamilan.

Dalam agama Yahudi mereka mangharamkan aborsi, mereka menetapkan sangsi yang amat berat bagi suami yang melakukan aborsi dengan unsur kesengajaan. Akan tetapi hukuman tersebut tidak sampai pada hukuman mati.[6]

Dalam agama Nashrani mereka mengharamkan aborsi secara mutlak dan memberikan sangsi yang sangat berat bagi orang yang melakukannya, dan menganggap aborsi sebagai bentuk pembunuhan.[7]

Adapun bangsa Arab maka merekalah yang paling banyak melakukukan aborsi, sehingga sebagian kabilah mereka membunuh anak mereka karena takut miskin. Lalu tinggalah para wanita yang mereka biarkan hidup dalam keadaan terabaikan atau kemiskinan. Hal ini disebutkan dalam surat An nakhl : 59

"Ia menyembunyikan dirinya dari orang banyak, disebabkan buruknya berita yang disampaikan kepadanya. Apakah ia akan memeliharanya dengan menanggung kehinaan ataukah akan menguburkanya kedalam tanah (hidup-hidup )? Ketahuilah alangkah buruk apa yang mereka tetapkan itu. "

Sedangkan menurut tabib muslim kuno mereka telah melakukan aborsi dalam bentuk menggugurkan kandungan, akan tetapi berbeda dengan umumnya. Mereka menempuh jalan aborsi bila didapatkan sebab yang sesuai dengan medis yang ada pada waktu itu. Seperti disebutkan dalam kitab Al Haawi karya Ar Razi; diwajibkannya memakai obat-obat yang berfungsi untuk menggugurkan kandungan sebelum masa kelahiran, hal itu dilakukan ketika seorang gadis yang terlalu dini melakukan hubungan sehingga ia sudah hamil padahal ia masih kecil (belum dewasa) karena akan membahayakan keselamatannya.

Ibnu Sina dalam kitab Al Qanun: Terkadang pada kondisi tertentu dibutuhkan untuk melakukan aborsi di antaranya ketika wanita yang hamil masih terlalu belia sehingga ditakutkan akan membahayakan apabila ia melahirkan. Juga ketika terdapat penyakit dalam rahim seperti penyakit kangker rahim sehingga menyusahkan keluarnya jabang bayi. [8]

Aborsi dalam pada realita masakini

Dalam sejarah perundang-undangan kuno mereka semua mengharamkan aborsi kecuali bangsa Yunani. Undang-undang Persi kuno contohnya, sampai abad ke 18 M mereka menjadikan hukuman bagi orang yang melakukan aborsi dengan mengasingkannya, tidak ada perbedaan baik ia melakukanya sebelum peniupan ruh ataukah setelahnya, kemudian tahun 1791 M, undang-undang ini direfisi dan ditetapkanlah hukuman untuk orang yang melakukannya dengan pidana kurungan selama 20 TH. Kemudian dipebolehkan bagi seorang wanita untuk melakukan pada bayinya, baru setelah itu diperboloehkan secara mutlak bila dilakukan pada sepuluh minggu pertama (masa kehamilan). Dan Negara yang pertama kali membolehkan aborsi adalah Unisoviet[9]

HUKUM ABORSI

Bagian pertama: masalah pengguguran janin sebelum perniupan ruh

Para fuqaha sepakat atas haramnya pengguguran janin setelah janin berumur empat bulan di dalam perut ibunya. Karena pada usia itu telah ditiupkan roh kepadanya. Rasulullah saw bersabda: "Kejadian seseorang itu dikumpulkan pada perut ibunya selama empat puluh hari. Setelah genap empat puluh hari kedua, terbentuklah segumpal darah beku. Maka genaplah empat puluh hari ketiga, berubahlah menjadi segumpal daging. Kemudian Allah swt mengutus seorang malaikat untuk meniupkan roh serta memerintahkan supaya menulis empat perkara, yaitu ditentukan rizki, waktu kematia, amal serta nasibnya, baik mendapat kecelakaan atau kebahagiaan."[10]

Janin jika telah ditupkan ruh kepadanya akan menjadi manusia, dan manusia tidak boleh dibunuh dengan sebab syari', padahal tidak ada sebab syar'i yang memperbolehkan untuk membunuh janin, sehingga tidak ada pula sebab-sebab syar'i yang memperbolehkan pengguguran fase ini. [11]

Ibnu Najib al-Hanafi mengatakan, "Seorang wanita hamil yang terancam bahaya karena anak yang berada di dalam perutnya, anak tidak boleh digugurkan, karena menghidupkan seorang jiwa dengan membunuh jiwa lain tidak di perkenankan di dalam syariat. Kecuali jika anak yang di dalam kandungan telah mati, maka diperbolehkan untuk menggugurkanya. "

Ibnu Abidin mengomentari perkataan Ibnu Najim, "Tidak boleh digugurkan, karena kematian ibu yang masih diragukan, maka tidak boleh membunuh manusia yang hidup karena perkara yang meragukan. [12]

Allah berfirman:"Dan janganlah kamu membunuh jiwa yanga diharamkan Allah (membunuhnya, melainkan dengan suatu(alasan) yang benar." (Al Isra: 33)

Para fuqaha tidak berselisih pendapat dalam masalah ini. Dan menurut jumhur ulama, bahwa membunuh karena terpaksa harus diqishash. Mereka juga sepakat, tidak halal bagi orang yang terpaksa untuk untuk membunuh orang lain demi menyelamatkan dirinya dari kematian. Mereka mencontohkan, bahwa jika sebuah perahu akan tenggelam, sedangkan keselamatan kapal itu bisa terjadi jika sebagian penumpangnya dilemparkan keluar, maka tidak boleh melemparkan sebagian dari pernumpang itu untuk meyelamatkan penumpang lainnya, sebanyak apapun jumlah penumpangnya.

Namun demikin, panitia penelitian ilmiyah dalam perspektif fikih yang dibentuk oleh kementrian wakaf Kuwait memperbolehkan menggugurkan janin- walaupun telah ditiupkan ruh kepadanya- jika itu merupakan jalan satu-satunya untuk menyelamatkan ibunya dari kematian. Karena menjaga kehidupan ibunya -jika keberadaan janin di dalam perutnya – membahayakanya adalah lebih diutamakan, karena kehidupan lebih dulu ada dan sesudah secara meyakinkan. [13]

Sebenarnya, menentang pendapat para fuqaha klasik dalam masalah ini bukan urusan gampang, karena mereka bersandar kepada kaidah syariat yang kuat dan tidak ada pengecualian sama sekali di dalamnya, yaitu bahwa janin setelah peniupan roh menjadi jiwa yang terhormat di mata syari'at, sehingga tidak termasuk di dalam yang di maksud oleh firman Allah: “Dan janganlah kamu membunuh jiwa yanga diharamkan Allah (membunuhnya, melainkan dengan suatu(alasan) yang benar." (Al Isra: 33)

Kebenaran yang dijelaskan oleh Rasulullah adalah bahwa jiwa tidak bisa dibunuh tanpa hak kecuali jika terbunuh karena hukum qishsah, pezina muhshan, dan murtad dari islam. Semua ini tidak akan terjadi pada janin sama sekali.

Adapun alasan yang dijadikan sandaran oleh panitia ilmiah di atas adalah, bahwa kehidupan sang ibu sudah jelas adanya secara meyakinkan. Namun alasan itu bisa di bantah, jika maksudnya adalah hidupnya sang ibu ketika melahirkan.

Kesimpulan

Pertama: Tidak diwajibikan qishash bagi asal (ibu) bila membunuh cabang (janin), walapun disengaja dan direncanakan. Di antara alasan yang mereka kemukakan untuk menetapkan hukum itu adalah karena asal telah dijadikan Allah sebagai sebab terwujudnya cabang, maka tidak layak jika cabang menjadi sebab kematian cabangnya. [14]

Kedua: Sebagian fuqaha sepakat bahwa pembunuh janin tidak diqishash walaupun sengaja, walaupun janinya lahir dalam keadaan mati, dan walapun pekerjaan itu haram hukumnya.

Dari kedua pendapat di atas jelaslah bahwa kehormatan ibu itu lebih tinggi daripada kehormatan janin jika keduanya bertemu. Maka tidak ada jalan lain kecuali harus mengorbankan salah satu jiwa untuk menyelamatkan jiwa yang lain.

Dari segi lain pendapat fuqaha Hanafi tentang janin, bahwa janin yang masih berada di dalam kandungan tidak sama dengan bayi yang sudah dilahirkan dalam beberapa segi. Sehingga di satu sisi mereka menganggap janin itu mempunyai jiwa, namun di sisi lain mereka tidak menyebutnya demikian. Mereka menyebutnya jiwa karena karena telah ditiupkan roh kepadanya, namun tidak menyebunya sebagai jiwa kerena dia adalah bagian dari ibunya. Merekan beralasan bahwa selama janin masih berada di dalam perut ibunya, ia tidak mempunyai tanggung jawab penuh dan dianggap tidak memiliki hak apa-apa, karena posisinya masih sama dengan anggota badan ibunya. Akan tetapi jika ia sudah hidup sendiri, maka dia bisa disebut jiwa. Dengan sebutan ini maka dia baru mempunyai hak yang berupa warisan, nasab, wasiat dan sebagainya.[15] Diantara mereka ada yang menamakan jiwa yang telah dilahirkan itu dengan jiwa yang mempunyai hak.[16]

Bagian kedua: hukum pengguguran janin sebelum peniupan roh.

Dalam masalah ini ulama berselisih pendapat karena tidak adanya batasan dan dalil–dalil syar'i yang menjelaskan hal ini.

MADZHAB HANAFI

Fuqaha Hanafi memperbolehkan pengguguran janin sebelum peniupan roh jika mendapat izin dari pemilik roh, yang dalam hal ini adalah kedua orang tuanya.

Ibnu Al-Hammam berkata, "Diperbolehkan menggugurkan janin setelah kehamilan selama belum terbentuk apapun pada janin. " Kemudian di tempat lain beliau mengatakan, "Hal itu tidak terjadi kecuali setelah janin berusia seratus dua puluh hari (120), karena pada saat itu penciptaan sudah sempurna dan siap ditiupkan roh. Dengan demikian, berarti pendapat mereka salah. Karena penciptaan benar-benar terjadi dan dapat disaksikan dengan indera sebelum fase ini." [17]

Ibnu Abidin menyatakan bahwa fuqaha madzhab ini berkata, "Diperbolehkan menggugurkan kandungan selama janin masih dalam bentuk segumpal daging atau segumpal darah dan belum terbentuk anggota badannya. Mereka menetapkan bahwa waktu terbentuknya janin adalah setelah janin berusia seratus dua puluh hari (120). Mereka meperbolehkannya sebelum waktu itu, karena janin itu belum menjadi manusia.[18] Kemudian Ibnu Abidin mengatakan, "Tetapi pendapat ini dipermasalahkan di dalam kitab “Al-Bahr”, bahwa pembentukan janin telah terjadi sebelum fase itu dan dapat disaksikan dengan jelas serta selaras dengan beberapa riwayat yang shahih, "jika janin telah melalui dua puluh empat puluh hari (80 hari) maka Allah menciptakan pendengaran, penglihatan dan kulitnya, "dan ini juga sesuai dengan apa yang ditemukan oleh dokter.[19]

Ibnu Abidin menukil dari beberapa kitab fiqih dalam madzhab Hanafi, bahwa mereka mengharamkan pengguguran kandungan sebeluk peniupan roh, karena janin pada masa ini merupakan bakal manusia yang nantinya akan menjadi manusia dengan kehendak Allah. Saya tidak mengatakan ibu yang mengugurkan janin sebelum peniupan roh tidak berdosa, tetapi dosa yang diterimanya tidak sebesar dosa bila mengugurkan setelah peniupan roh kepanya." Namun demikian kelompok ini memperbolehkan pengguguran kandungan dengan alasan yang diterima. Di antara udzur yang diterima adalah terputusnya susu ibu setelah muncul kehamilan, dan kedua orang tua bayi itu mampu manyusukan kepada orang lain sehingga takut anaknya mati.[20]

Sebagian ulama madzhab Hanafi berpendapat bahwa menggugurkan kandungan sebelum peniupan roh hukumnya boleh tapi makruh. Karena setelah zigot menempel pada dinding uterus (rahim), dia akan hidup.

MADZHAB MALIKI

Para ulama madzhab Maliki mereka berselisih pendapat tentang hukum pengguguran sebelum peniupan roh.

Jumhur ulama mereka mengharamkan pengugguran kandungan setelah air mani berada di dalam rahim. Syaikh Ahmad Ad-Dardir berkata, "Tidak boleh mengeluarkan mani yang telah tertanam di dalam rahim walaupun sebelum berusia empat puluh hari.[21]

Syaikh Al-Laisy berkata: "Jika rahim telah menaangkap air mani, maka tidak boleh bagi suami-istri ataupun salah satu dari mereka untuk menggugurkan janinya, baik sebelum penciptaan maupun sesudah penciptaan. [22] Dinukil dari Ibnul Arabi: Seorang anak memiliki tiga keadaan:

a. Keadaan sebelum percampuran antara sperma dan ovum yang digugurkan dengan melepaskannya di luar rahim ketika sperma keluar, dan ini hukumnya boleh.

b. Keadaan setelah rahim menangkap sperma, maka pada saat itu, tidak boleh seorangpun untuk menggugurkannya. Seperti yang dilakukan oleh pedagang murahan yang menjual ramuan-ramuan tertentu yang diminum, zigot itu akan keluar dari rahim, sehingga gugurlah kandunganya.

c. Keadaan setelah janin mencapai kesempurnaan bentuk sebelum peniupan roh, maka ini lebih tidak diperbolehkan untuk digugurkan. Adapun setelah peniupan roh, maka tidak diperselisihkan lagi, ini termasuk pembunuhan. [23]

Ibnul Jauzi mengatakan, "Jika mani telah berada di dalam rahim, maka tidak diperbolehkan mengeluarkan, dan lebih tidak lebih lagi jika janin telah terbentuk, dan lebih tidak diperbolehkan lagi jika sudah ditiupkan ruh kepadanya. Imam Malik berkata, "Setiap Mudhgah atau 'Alaqah yang digugurkan dan diketahui bahwa ia bakal menjadi anak, maka pelakunya harus mangganti dengan budak. Sedangkan Imam Syafi’i mengatakan, "Tidak diwajibkan mengganti apa-apa hingga janin itu mempunyai bentuk, dan yang paling benar adalah diwajibkan mengganti dengan budak bila menggugurkan janin yang telah ditiupkan roh kepadanya.[24]

Sebagian fuqaha Malikiyah memakruhkan pengguguran janin setelah janin terbentuk di dalam rahim sebelum berusia empat puluh hari dan mengharamkanya sesudah itu.

Al-Lakhami salah seorang ulama Malikiyah berpendapat, bahwa boleh dan tidak harus mengganti apa-apa. Seabagian fuqaha Malikiyah berpendapat, diberi keringanan untuk mengugurkan kandungan sebelum peniupan roh, jika janin itu hasil dari perbuatan zina dan kehususnya jika wanita itu takut akan dibunuh jika ketahuan bahwa dirinya hamil. [25]

Kesimpulan dari ulama madzhab Maliki adalah mereka sepakat mengharamkan pengguguran kandungan jika janin telah berusia empat puluh hari. Sedangkan sebelum berumur empat puluh hari mayoritas ulama mereka memperbolehkan, ada sebagian yang memakruhkan, Al-Lakhami memperbolehkan. Dan sebagian yang lain memberikan rukhsah jika dilakukan sebelum peniupan roh jika janin itu merupakan hasil dari hubungan zina.

MADZHAB SYAFI'I

Para madzhab Syafi’i berbeda pendapat mengenai menggugurkan janin sebelum peniupan roh:

  • Pendapat pertama: -yang paling dipegangi oleh madzhab ini- bahwa mengugurkan kandungan selama janin belum ditiupkan roh kepadanya adalah boleh.
  • Ar-Ramli sampai pada suatu kesimpulan yang akhirnya menjadi pengangan madzhab ini yaitu memakruhkan pengguguran janin sebelum peniupan roh samapai waktu yang mendekati waktu peniupan roh dan mengharamkannya setelah memasuki waktu yang mendekati peniupan roh. Karena sulitnya mengetahui secara pasti waktu peniupan roh tersebut, maka diharamkan menggugurkannya sebelum mendekati waktu peniupan roh untuk berjaga-jaga, seperti ketika peniupan roh atau sesudahnya.
  • Imam Al-Ghazali mengharamkan pengguguran janin pada semua fase perkembangan kehamilan dan dengan terus terang ia mengantakan bahwa janin dengan segala fase perkembangan umurnya sebelum peniupan roh haram hummnya.

MADZHAB HAMBALI

Pendapat mereka secara umum dalam madzhab, memperbolehkan pengguguran kandungan pada fase perkembangan pertama sejak terbentuknya janin yaitu fase zighot, yang usianya maksimal empat puluh hari, dan setelah empat puluh hari tidak boleh di gugurkan.

Sebagian keompok dari ulama mereka mengatakan bahwa boleh meminum obat untuk menggugurkan zigot.[26] Ibnu Rajab Al-Hanbali berkata, "Sahabat-sahabat kami mengatakan; bahwa jika janin telah menjadi segumpal darah tidak diperkenankan bagi wanita untuk menggugurkannya, karena ia sudah menjadi anak, lain halnya dengan zigot, karena ia belum menjadi anak.[27]

Ibnul Jauzi berpendapat mengharamkan pengguguran kandungan sebelum peniupan ruh di semua fase perkembangan janin. Demikianlah yang dinukil Al-Mawardi darinya.[28] Sebagian ulama madzhab Hanbali memperbolehkan menggugurkan kandungan sebelum peniupan roh secara mutlak tanpa mensyaratkan fase-fase tertentu.[29]

Maka pendapat yang paling rajih dalam analisa fiqih islam adalah pendapat jumhur Hanafiyah dan yang sesuai dengan madzhab Hanafiyah bahwa awal kehidupan seorang anak adama adalah setelah peniupan ruh, maka barang siapa yang melakukan pembunuhan terhadap janin setelah peniupan ruh maka ia telah membunuh cikal bakal manusia. [30] Baik ia masih dalam fase nutfah (coitus ), ‘alaqah atau mudhah. Bila dalam keadaan darurat yang hanya dapat dilaksanakan dengan cara mengugurkan janin, dan tidak cukup ini dilaksanakan hanya karena udzur, sedangkan syarat udzur tersebut adalah:

  • Bahaya tersebut benar-benar terjadi bukan dalam masa penantian.
  • Diklasifikasi terlebih dahulu mana bahaya yang menyelisihi perintah atau larangan syar'i.
  • Membatasi dalam hal yang diperbolehkan dilakukan dengan menentukan batas maksimal untuk menghilangkan adanya bahaya.
  • Hendaknya bahaya tersebut berkaitan dengan masalah kehamilan yang tidak bisa dihilangkan kecuali dengan menggugurkan kandungan.

Aborsi untuk membatasi keturunan.

Lembaga penelitian islam di Kairo telah menetpkan "Sesungguhnya melakukan aborsi dengan tujuan untuk membatasi keturunan atau menggunakan wasilah yang menghalangi kesuburan merupakan sesuatu yang tidak diperbolehkan menurut syar'i bagi suami istri atau selainya.

Aborsi untuk menutupi tindakan keji.

Islam sangat menjaga hak janin secara mutlak, baik janin tersebut dihasilkan dari pernikahan atau dari hasil di luar nikah. Oleh karena itu tidak dipebolehkan melakukan aborsi untuk menutupi tindakan keji yang pernah ia lakukan. Hal ini berdasarkan dalil

  • Rasulullah bersabda kepada wanita Ghamidiyah yang berzina "Pergilah sampai engkau melahirkan.” Hal ini menunjukan bahwa menggugurkan janin dari hasil di luar nikah tidak diperbolehkan.
  • Ulama sepakat bahwa tidak diperbolehkan menggugurkan kandungan sampai ia melahirkan, baik dari hasil perbuatan zina ataupun selainya. Hal ini menunjukkan bahwa janin sangat dilindugi oleh islam.
  • Fuqaha menetapkan Ar-ruhkhsah la tunatu bil maasyi , Rukhsah tidak bisa digunakan dalam hal kemaksiatan. Imam Al-Qurafi mengatakan bahwa kemaksiatan tidak bisa dijadiakan sebab adanya rukhasah. Oleh karenanya seorang musafir dalam rangka maksiat tidak boleh mengqashar.
  • Janin dari hasil perbuatan keji setatusnya hilang dari kekuasaan orang tuanya, karena bapak dari menurut syar'i tidak bisa dinisbahkan kepadanya kecuali dengan adanaya pernikahan resmi, sehingga wali dari anak tersebut adalah penguasa.

Hukum mengugurkan janin hasil dari pemerkosaan adalah sama hukumnya dengan menggugurkan janin dari hasil pernikahan resmi. Akan tetapi sebagian ulama mu’ashirin memeperbolehkan menggugurkan janin yang dihasilkan dari proses pemerkosaan pada hari-hari pertama. Mereka menganggap ghasab (pemerkosaan) adalah sebab yang memperbolehkan melakukan aborsi dan sekaligus bahaya yang menuntut untuk dilaksanakannya aborsi. Demikianlah yang dikemukanakan oleh Syaikh Yusuf Qardhawi, guru besar Al-Azar Syaikh Jadul Haq Ali Jadul Haq, Dr. Muhamad Sayi At-Tanthawi. Terkecuali beliau memberikan batasan kebolehanya sampai akhir bulan pertama pada kehamilan.

Aborsi karena adanya firus atau penyakit

Aborsi karena adanya firus atau penyakit yang membahayakan kehidupan ibu apabila bayi tersebut tetep ada atau maksimal akan menyebabkan kematian ibu setelah ia melahirkan. Maka berdasarkan ketetapan lembaga penelitian fiqih di Kuwait sesuai dengan ketetapan dari ilmu kedokteran, diperbolehkan. Karena kehidupan janin bersifat dzani sedangkan kehidupan ibu bersifat yakin.

Aborsi yang dilakukan wanita menyusui karena takut terhenti air susunya

Berdasarkan ilmu kedokteran bila wanita hamil menyusui akan terjadi kekurangan vitamin dan protein pada air susunya dan hal ini sangatlah berbahaya . Oleh karenanya Nabi melarang menyetubuhi istinya yang dalam keadaan hamil agar menjaga kelangsungan penyusuan yang dapat menjadi bahaya bagi anak yang disusuinya.

لقد هممت أن أنهي عن الغيلة , فنظرت الي الروم وفارس فإذا هم يغيلون أولادهم من ذالك. ( رواه مسلم )

Ulama Hanafiyah berpendapat bolehnya menggugurkan janin sebelum peniupan ruh agar tidak memutuskan air susu. Pendapat ini diambil oleh Syaikh Abdul Majid Salim dan Syaikh Jadul Haq.

Maka pendapat yang rajih adalah tidak diperbolehkan melakukan hal yang demikan karena tidak ada bahaya syar'i yang memperbolehkan melakukan aborsi, dan tidaklah terputusnya air susu menjadi sebab utama untuk melakukan aborsi. [31]

APAKAH JANIN ABORSI HARUS DIMANDIKAN?

Jika janin telah ditiupkan ruh padanya

Ulama telah sepakat bahwa janin yang keluar dalam keadaan hidup setelah ditiupkan ruh kepadanya dengan ditandai adanya tanda-tanda kehidupan, lalu ia mati maka ia wajib untuk di shalati. Imam Asy-Syaukani berkata, Apabila (janin) terlahir dan ada tanda-tanda kehidupan seperti tangis atau gerak pada anggota tubuh atau selainnya maka ia harus dimandikan menurut Ijma' (kesepakatan)

Imam Nawawi berkata, Keguguran ada beberapa keadaan; salah satunya apabila ia terlahir (dengan adanya tanda kehidupan.pent) maka wajib dimandikan dan dishalati. Tanpa ada perselisihan di antara ulama kita.

Sedangkan Imam Ibnu Qudamah berkata, Apabila keluar dalam keadaan hidup dan terlahir maka ia dimadikan dan dikafani tanpa adanya perselisihan.

حديث المغيرة بن شعبة رضي الله عنه أن النبي صلي الله عليه وسلم قال : الراكب خلف الجنازة. والمشي حيث شاء منها. والسقط لا يصلي عليه.

Hadist mughirah bin Syu'bah ra bahwa Nabi bersabda “Pengendara keadaan di belakang jenazah dan perjalan kaki diamana saja ia kehendaki serta keguguran tidaklah dishalati. [32]

Jika janin belum ditiupkan ruh kepadanya

Adapun apabila janin tersebut keluar dalam keadaan telah mati, maka ia tidak wajib dishalati, meskipun ia telah mencapai umur lebih dari empat bulan. Demikianlah pendapat Hanafiyah, Malikiyah, dan Qaul jadid Imam Syafi'i.

Imam Syafi’i menyebutkan dalam kitab Al-Umm, janin yang keguguran dimandikan, dikafani dan dishalati jika ada tanda-tanda kehidupan, maka bila bayi yang keguguran itu telah meninggal maka tidak menshalatinya adalah lebih utama. Sedangkan dalam kitab Mughni Muhtajj disebutkan, "Begitu pula jika telah sampai – umur empat bulan- dan telah terlihat penciptaannya maka tidak wajib untuk dishalati. Sedangkan menurut Ahli Dhahir tidak boleh dishalati.

حديث جابر رضي الله عنه : " الطفل لا يصلي عليه .ولا يرث, ولا يورث. حتي يستهل صارحا

Hadist Jabir bahwa Rasulullah bersabda 'Anak kecil tidaklah dishalati dan tidak dapat mewarisi serta mewarisi sampai ia (yastahil ) adanya tanda kehidupan. [33]

Pendapat yang paling benar adalah pendapat jumhur, yaitu tidak dimandikan dan tidak dishalati. Karena bila janin belum mencapai empat bulan belum ditiupkan ruh kepadanya dan ia tak ubahnya bak sepotong daging atau benda yang lain. [34]

REFRENSI

1. W.j.s. Poerwandarminta, Kamus umum bahasa indonesia, Balai Pustakan, Jakarta, Edisi III cet I th 2003 M.

2. Dr. Ibrahim bin Muhamad Qasim bin Muhamd Rohim, Ahkamul ijhad fie fiqhi Al islami, Silsilah Isdarah Al hikmah, Britonia, cet I, th. 2002 M.

3. Dr. M.Nu'im Yasin, Fiqih kedokteran, Pustaka Al kautsar, jakarta , cet. I 2001 M.

4. Dr. Abdul Karim Zaidan, Al Mufashal fie Ahkamil Mar'ah, Muasasah Ar Risalah. Bairut .

5. Syaikh Jadul Haq Aly Jadul Haq, Qadhaya wa Fatawa Fiqhiyah fie Qadhaya Al muatsirah.

6. Majalah Syariah Dan Dirasah Al Islamiyah, edisi VI / Ramadlan 1409 H / April 1989 M.



[1] . w.j.s. Poerdawinta, Kamus umum bahasa indonesia, hal : 2

[2] . lihat Musthafa dkk, Mu'jamul washit, hal : 143.

[3] . liahat Dr. Ibrahim bin Muhamad Qasim bin Muhamad rahim. Ahkamul Ijhadh fi fiqhil Islamy,hal .77.

[4] .Thomas Roberta Malicus.

[5] Dinukil dari Siasah wa wasail tahdidin nasli karya Muhamad Al bar. Hal. 39.

6 Dinukil dari Mausuah Al mu'alim karya batras Al Bustani. Hal. 528 dan Himayah Jina'iyah. Karya Dr. Hilali Ahmad . hal. 76

[7] . Dinukil dari Nidhamil usrah baina masihiya wal islam, karya Dr. muhamad sya'lan 2 / 649-650 dan kitab Himayah Al jinaiyah, karya DR. Hilaly Ahmad. Hal. 78

[8] . Dr. Ibrahim bin Muhamad Qasim bin Muhamad rahim. Ahkamul Ijhadh fi fiqhil Islamy,hal .99.

[9] . Ibid

[10] Lihat shahih bukhari.

[11] Dinukil dari Hasyiyah Ibnul Abidin , juz I, hal: 60, juz VI, hal : 591, As Syarh Kabir Dan Hasyiyah Ad Dasuq, juz II, hal : 267, fath al –ali al malik, juzI hal: 399,400, Nihayatul muhtaj, juz VIII, hal, 416, Hasyiyah Al Jumal 'Ala Syarhi Al Manhaj, juz V, hal.490,491. Ihya ulumudin, juz II. Hal : 58. Jamil al ulum wal hikam, hal. 46, Al Anshaf, juz II, hal. 386. Al muhalla, Ibnu hazm, juzVIII, hal 30-31.

[12] . Dinukil dari Hasyiyah ibnu Abidin, juz I, hal. 602

[13] . Al mausu'ah al fiqhiyah, juzII, hal. 57.

[14] . lihat Ibnu Qudamah. Al mughni, juz IX, hal. 359.

[15] . Al bahr ar raiq.. juz VIII, hal. 378

[16] . lihat Dr. Nu'aim yasin, Fiqih kedokteran.hal. 197-200

[17] .Dinukil dari Syarh Fathul Qadir. Juz II. Hal. 495

[18] Dinukil dari Hasyiyah Ibu Abidin, juzI. Hal.302

[19] ibid .

[20] ibid. jiz VI, 591

[21] . Asy syrkhul kabir ma'a Hasyiyah Ad dasuqi

[22] . Fath Ali Al maliki, juz I, hal. 399.

[23] . Ibid, Juz I,hal. 400, Hasyiyah ar –rahwani ala syarh az zarqani, juz III, hal. 246.

[24] . Bidaatul mujtahid Juz II, hal. 416

[25] . Fath al ali, juz I. hal. 399

[26] . Dinukil dari Al inhaf, juzI, hal.386, Al furu'juz VI,hal. 191.

[27] . Dinukil dariJamiul Ulul Wal Hikam. Hal.41.

[28] . Dinukil dari Al Inshaf, juz I,hal. 386

[29] . lihat Dr. M Nu'aim Yasin, fikih kedokteran .hal. 201-212

[30] . lihat majalah syariah edisi ramadlah 1409 H.

[31] . lihat majalah syariah edisi september 2003. hal 154.

[32] . HR. Abi daud, tirmidzi dan ia mengatakah hadist ini hasan shahih, nasa' I , ibnu majah dan Ahmad.

[33] .

[34]. Lihat , Dr. Ibrahim bin Muhamad Qasim bin Muhamad rahim. Ahkamul Ijhadh fi fiqhil Islamy. hal

Tidak ada komentar: