Minggu, 20 April 2008

HUKUM MEMAKAI CADAR BAGI WANITA

HUKUM MEMAKAI CADAR BAGI WANITA

MUQODIMAH

Alhamdulillahi Robbil 'alamin, atas segala limpahan nikmat-Nya dan rahmat-Nya. Sholawat dan salam semoga tetap tercurahkan kepada Nabiyullah Muhammad yang telah bersusah payah membawa umatnya kejalan yang diridhoi Allah yaitu kepada islam. Sungguh musibah yang sangat besar yang telah menimpa kaum muslimin hari ini yang belum pernah menimpa sejarah di dalam Islam yaitu dihinakannya kaum muslimin dengan runtuhnya khilafah pada tanggal 3 maret 1924. Sejak itulah kaum muslimin tidak lagi punya pijakan yang kokoh untuk sekedar bertahan dari ganasnya makar-makar musuh Islam, apalagi untuk melawan.

Sejak itu pulalah pondasi aqidah umat ini hancur dan hancur ibarat puing-puing bangunan yang tekena badai dan gempa yang amat dahsyat, Umat dimana-mana dibantai, fitnah mengelilingi kita.

Dan fitnah yang terbesar yang kita dapati hari ini adalah orang-orang yang paling memusuhi Islam justru datang dari orang-orang yang mengaku Islam itu sendari. Ini tak lain dan tak bukan karena mereka tidak lagi memahami hakikat Islam yang sebenarnya . Orang yang ingin kembali kepada Islam secara kaffah dianggap aliran sesat, mubtadi' (pelaku bid'ah ) dan exstrim serta gelar-gelar lainnya yang menjijikan.

Demikian juga dengan masalah jilbab sampai masalah cadarpun di anggap aneh ,tabu dan dianggap kuno serta terbelakang.

Benarlah apa yang dikatakan oleh Imam Al Ghozali semoga Allah merahmatinya :"Tidaklah musibah yang paling besar yang menimpah umat ini selain hilangnya Ad Din". Bukankah khilafah bagian dari pada Ad Din yang mempunyai peranan yang amat penting dalam mengatur kehidupan kita??…….

Sengaja saya bawa pemikiran kita kepada awal penyebab rusaknya tatanan Islam ini ( yaitu runtuhnya khilafah Islamiyah ) supaya kita dapat memahami kenyatan hari ini selanjutnya untuk bisa berbuat banyak untuk mengembalikan Islam pada posisi yang semestinya sebagaiman di masa Rasulullah SAW. Semoga risalah ini bermanfaat bagi keislaman kita dan sebagai bukti keingin kembalian kita terhadap Dinul Islam secara kaffah. Amiin…..

PENGERTIAN CADAR

Di katakan dalam kamus Al Muhith bawa kata cadar dalam bahasa arabnya äÞÇÈ: atau ÞäÇÁ yang mempunyai arti :kain yang di gunakn untuk menutupi muka seorang wanita.

(Tartiibul Qomus Al Muhith Zuz : 4 hal. 421 )

Istilah cadar sendiri sudah di kenal pada awal di wajibkannya hijab, sebagaimana Shofiyah binti Sirin menjadikan jilbabnya sebagai cadar padahal umurnya melebihi enam puluhan. ( lihat Jilbatul Mar' ah Al Muslimah Oleh Syaikh Muhammad Nasrudin Al Baani ).

DALIL-DALIL DI WAJIBKANNYA HIJAB

a. Dalil-dalil dari Al Quran :

Firman-Nya :

1. (lihat surat An Nur ayat 30 dan 31 ).

2. ( lihat surat al ahzab ayat 59 ).

b. dalil-dalil dari As Sunah :

Dalam sebuah hadist dari Ummul Mukminin Aisyah semoga Allah meridhoinya berkata :

Artinya :Bahwasanya Asma binti Abi Bakar datang menghadap Rasulullah e padahal Asma memakai pakaian tipis maka Rasulullah e berpaling darinya lalu berasabda : "Sesungguhnya seorang wanita jikalau sudah mendapatkan haidh maka tidak boleh terlihat darinya kecuali ini dan ini sambil menunjuk wajah dan tangannya".

Tetapi Imam Abu Daud mengatakan bahwa hadits ini adalah mungkar karena di dalam hadits tersebut terdapat seorang rowi yang bernama Ya'kub bin Duraik padahal Ia tidak pernah bertemu dengan Aisyah. Begitu juga yang di katakan oleh Imam Al Hafidz Abu Bakar Ahmad Al Jarjany :hadist ini adalah Dhoif kerena sanad dari Said bin Basyir padahal Ia lemah.Dikatakan juga hadist ini yang di dalam sanadnya dari Qotadah dari Kholid adalah seorang yang Mudalis.

2. dalam hadist Shofiyah binti Syaibah semoga Allah meridhoiya berkata :"saya melihat Aisyah ketika sedang di rumah Allah (ihrom ) mengenaikan cadar".

3. Demikian juga hadist dari Aisyah semoga Allah meridhoinya lainnya :

Artinya :"Para penunggang binatang akan melewati kami, padahal kami bersama Rasulullah e dalam keadaan ihrom. Maka ketika mereka hampir melewati kami, kami menjadikan jilbab diatas kepala kami sebagai penutup muka ( cadar ) sampai meraka melewati barulah kami membukanya kembali ".[ Ahmad : 6/30 ]

PENJELASAN DALIL-DALIL DI ATAS

Dalam hukum cadar ini sendiri terjadi ikhtilaf di antara para ulama sehingga menjadi dua pendapat sebagaimana yang di katakan pengarang kitab "Aunul Ma'bud Syarh Sunan Abi Daud" Imam Abu Bakar Ahmad Al jarjany.

Pendapat yang menekankan perlunya memakai cadar :

Yaitu :mereka yang menekankan pentingnya memakai cadar jika di kwatirkannya terjadinya fitnah, baik di zaman dahulu maupun sekarang. Yang berpendapat seperti ini adalah Imam Ibnu Abas, Ubaidah As Samany, Syaikh Al Utsaimin semoga Allah I merahmati mereka semua.

Ibnu Abbas di dalam menafsirkan ayat ini : “ … jinatahunna illa maa dhoharo minhaa “

Yang di maksud ayat ini adalah :Wajah dan kedua telapak tangan termasuk tidak boleh terlihat.

Bahkan lebih jauh lagi beliu mengatakan :Dalam Ayat ini Allah I memerintahkan kepada kaum muslimah jikalau akan keluar rumah karena ada suatu keperluan untuk senantiasa menutup seluruh tubuhnya dari atas sampai bawah kecuali satu mata kirinya yang di gunakan untuk melihat. Di riwayat dari Ali bin Abi Tholhah marfu' dengan sanad baik/ jaiid.

( lihat tafsir Imam Ath thobari Jamiul Ahkam…, Tafsir Al Qu'ranul Adzhim Imam Ibnu Katsir,Tafsirnya Imam As Syanqiti Adhwaaul bayan,dan tafsir Imam Ibnul 'Arobi Ahkamul Qu'ran )

Demikian juga mazhab Ahmad yang mengatakan :Setiap bagian tubuhnya, termaksuk kukunya adalah aurat. Ini juga pendapat Imam Malik. Semenjak turunnya Ayat 59 dari surat Al Ahzab para wanita muslimah ketika itu menutup wajah dari pandangan pria. Jadi waniata dahulu mengenaikan Niqob ( cadar ). Di dalam "ash Shohih " terdapat hadits yang menyatakan bahwa wanita yang sedang ihrom di larang mengenakan Niqob dan sarung tangan. Ini menunjukan bahwa niqob dan sarung tangan itu di kenakan oleh kaum wanita yang tidak ihrom. Berati wajah dan telapak tangan mereka tutupi. Syaikh Muhmmad Nasrudin Al Banii menambahkan :ini benar tetapi bukan berati menjadi wajib bagi mereka. (Al Hijab , hal. 40 )

( lihat juga pendapat Imam Ibnu Taimiyah dalam kitabnya"Majuatul fatawa.Kitab tafsir surat Al Ahzab 59.Jilid 15 hal. 410" dan pendapat Syaikh Ibnu Jibrin maupun Syaikh Al Utsaimin di dalam kitab " Fatawa Al Mar'ah hal.176-179 yang menekankan perlunya Niqob dan sarung tangan bagi wanita ).

Pendapat yang membolehkannya tidak memakai cadar :

Mereka yang berpendapat yang seperti ini adalah Imam Abu Hanifah dan Imam Syafi'I dengan syarat terbebas dari fitnah. ( lihat Fiqh ala Mazaaibil Arba'ah Jilid :1 hal 583 ). Dan karena tidak adanya Nash yang jelas-Jelas memerintahkannya.

KESIMPULAN

Sebenaranya dua pendapat tersebut tidaklah bertentangan bahkan saling mengkuatan antara satu dengan yang lainnya yaitu : pentingnya memakai cadar ketika di kwatirkan fitnah dan jikalau tidak di kwatirkan terjadinya fitnah maka boleh untuk tidak memakai cadar.

PENUTUP

Demikianlah apa yang patut kita ketahui tentang hukum memakai cadar. Dan setelah itu marilah kita melihat kenyataan hari ini di mana kita hidup didalamnya !!!………… maka kita akan mendapatkan fitnah ada di mana-mana. Rasulullah e sudah menginggatkan kita akan besarnya fitnah wanita terhadap laki-laki sebelum beliau wafat. Dan Sabdanya : Bertaqawalah akan fitnah dunia dan fitnah wanita. Karena sesungguhnya fitnah yang pertama sekali menimpa bani isroil adalah adalah fitnah wanita. [Muslim : 17/55 ]

Dan hanya wanita-wanita yang hina sajalah yang tidak mengenaikan jilbab ( menutup auratnya ) bahkan di zaman Rasulullah wanita-wanita yang tidak memakai cadar adalah para budak. Sehinggah di ceritakan dalam tafsir " Adh waa,ul bayan" : Waniata-wanita budak tidak memakai cadar sehingga mereka diganggu". Maka untuk membedakan antara wanita budak dengan wanita merdeka di perintahkan untuk menutup muka dengan menurunkan jilbabnya. Sebagaian para ulama berpendapat seorang l;aki-laki lebih tertarik di karenakan melihat wajahnya dari pada melihat kakinya. Dan kita bisa melihat wanita-wanita yang tidak menutup auratnya yang sering menjadi korban pelecehan saksual oleh lelaki yang tidak bermoral.

Allahu alam bish showab.

MAROJI':

1. Hijabul mar'ah wa libasuha fie As Sholah. Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah.(dan di tahqiq oleh Syaikh Muhammad Nasruddin Al Baani

2. Purdah And the Status Of Woman In Islam. Abu A'la Al Maududi.

3. Fatawal Mar'ah, lajnah Ad Daaimah. ( syaikh Abdullah Bin Baz, syaikh Al Utsaimin, Syaikh Ibnu Jibrin ).

4. Majmu'atul fataawa. Sýyaikhul Islam Ibnu Taimiyah.

5. Tafsir Jami'ul Bayan Fie Tafsirul Qur'an. Imam Ath Thobari.

6. Tafsir Qur'anul Adhim. Imam Ibnu Katsir.

7. Tafsir Adh waaaul bayan. Imanm Asy Syanqity.

8. Tafsir Ahkamul Qur'an. Imam Ibnul Aroby.

9. Majalatul Buhuts Al Islami.Lajnah Ad Daimah.

10. Fiqh Ala Mazhaibil Arba'ah.syaikh Abdurrahman Al Jazairi.

11. Musnad Imam Ahmad.

12. Tuhfatul ahwaadzi Syarh Tirmizi. Imam Al Hafidz Abu bakar Ahmad Al jazairi.

13. Tartibul Qomus Al Muhith.Thohir Ahamad Ar Roozi.

2 komentar:

R. A. mengatakan...

Sesungguhnya cadar itu hanya diwajibkan kepada para istri Rasul saja dan bukan untuk muslimah pada umumnya. pendapat yang dilontarkan oleh sebagian mujtahid bahwa, cadar disyariatkan kepada wanita karena adanya kekhawatiran akan munculnya fitnah. Mereka menyatakan bahwa wanita dilarang menampakkan wajahnya di tengah-tengah kaum pria bukan karena wajah itu aurat, tetapi karena kekhawatiran akan muncul fitnah. Pendapat semacam ini batil ditinjau dari berbagai sisi.
Pertama, tidak ada nash syara’ menyatakan pengharaman menampakkan wajah disebabkan adanya kekhawatiran akan muncul fitnah, baik itu dalam al-Quran, as-Sunnah, Ijma Sahabat, ataupun ‘illat syar‘iyyah yang masalah ini dapat di-qiyâs-kan (dianalogikan) kepadanya. Karena itu, pendapat secara syar’i tidak ada nilainya dan tidak bisa dinilai sebagai hukum syara’. Sebab, hukum syara’ adalah seruan asy-Syâri‘ (Sang Pembuat Hukum). Sementara pengharaman untuk menampakkan wajah karena kekhawatiran akan muncul fitnah tidak dinyatakan di dalam seruan asy-Syâri’. Jika telah diketahui bahwa dalil-dalil syariah telah datang dalam bentuk yang betul-betul bertolak belakang dengan pendapat tersebut. Ayat-ayat al-Quran dan hadits – hadits Rasul SAW membolehkan secara mutlak untuk menampakkan wajah dan kedua telapak tangan dan tidak membatasinya dengan sesuatupun. Nash-nash tersebut juga tidak mengkhususkan satu kondisi tertentu. Maka pengharaman menampakkan wajah dan mewajibkan untuk menutupinya, merupakan pengharaman atas apa yang telah dihalalkan oleh Allah SWT, dan mewajibkan sesuatu yang tidak diwajibkan oleh Rabb semesta alam. Dengan kata lain, pendapat yang mengharamkan menampakkan wajah dan mewajibkan untuk menutupnya, selain tidak bisa dinilai sebagai hukum syara’, hal itu juga berarti membatalkan hukum-hukum syara’ yang telah ditetapkan dengan pernyataan nash secara gamblang.
Kedua, sesungguhnya menjadikan kekhawatiran akan munculnya fitnah sebagai ‘illat pengharaman menampakkan wajah dan mewajibkan menutupinya, tidak terdapat nash syar’i yang menyatakannya, baik secara jelas (sharâhatan), melalui penunjukan (dilâlatan), lewat proses penggalian (istinbâthan), maupun melalui analogi (qiyâsan). Karenanya ’illat tersebut (berupa kekhawatiran akan munculnya fitnah) bukan merupakan ‘illat syar‘iyyah, akan tetapi merupakan ’illat aqliyah (’illat yang bersumber dari akal). Padahal, ‘illat ‘aqliyyah tidak ada nilainya di dalam hukum syara’. ’Illat yang diakui di dalam hukum syara’ hanyalah ‘illat syar‘iyyah, bukan yang lain. Walhasil, kekhawatiran akan munculnya fitnah tidak ada bobotnya dalam pensyariatan haramnya menampakkan wajah dan wajibnya menutupinya, karena tidak dinyatakan di dalam syara’.

R. A. mengatakan...

pendapat yang dilontarkan oleh sebagian mujtahid bahwa, cadar disyariatkan kepada wanita karena adanya kekhawatiran akan munculnya fitnah. Mereka menyatakan bahwa wanita dilarang menampakkan wajahnya di tengah-tengah kaum pria bukan karena wajah itu aurat, tetapi karena kekhawatiran akan muncul fitnah. Pendapat semacam ini batil ditinjau dari berbagai sisi.
Pertama, tidak ada nash syara’ menyatakan pengharaman menampakkan wajah disebabkan adanya kekhawatiran akan muncul fitnah, baik itu dalam al-Quran, as-Sunnah, Ijma Sahabat, ataupun ‘illat syar‘iyyah yang masalah ini dapat di-qiyâs-kan (dianalogikan) kepadanya. Karena itu, pendapat secara syar’i tidak ada nilainya dan tidak bisa dinilai sebagai hukum syara’. Sebab, hukum syara’ adalah seruan asy-Syâri‘ (Sang Pembuat Hukum). Sementara pengharaman untuk menampakkan wajah karena kekhawatiran akan muncul fitnah tidak dinyatakan di dalam seruan asy-Syâri’. Jika telah diketahui bahwa dalil-dalil syariah telah datang dalam bentuk yang betul-betul bertolak belakang dengan pendapat tersebut. Ayat-ayat al-Quran dan hadits – hadits Rasul SAW membolehkan secara mutlak untuk menampakkan wajah dan kedua telapak tangan dan tidak membatasinya dengan sesuatupun. Nash-nash tersebut juga tidak mengkhususkan satu kondisi tertentu. Maka pengharaman menampakkan wajah dan mewajibkan untuk menutupinya, merupakan pengharaman atas apa yang telah dihalalkan oleh Allah SWT, dan mewajibkan sesuatu yang tidak diwajibkan oleh Rabb semesta alam. Dengan kata lain, pendapat yang mengharamkan menampakkan wajah dan mewajibkan untuk menutupnya, selain tidak bisa dinilai sebagai hukum syara’, hal itu juga berarti membatalkan hukum-hukum syara’ yang telah ditetapkan dengan pernyataan nash secara gamblang.
Kedua, sesungguhnya menjadikan kekhawatiran akan munculnya fitnah sebagai ‘illat pengharaman menampakkan wajah dan mewajibkan menutupinya, tidak terdapat nash syar’i yang menyatakannya, baik secara jelas (sharâhatan), melalui penunjukan (dilâlatan), lewat proses penggalian (istinbâthan), maupun melalui analogi (qiyâsan). Karenanya ’illat tersebut (berupa kekhawatiran akan munculnya fitnah) bukan merupakan ‘illat syar‘iyyah, akan tetapi merupakan ’illat aqliyah (’illat yang bersumber dari akal). Padahal, ‘illat ‘aqliyyah tidak ada nilainya di dalam hukum syara’. ’Illat yang diakui di dalam hukum syara’ hanyalah ‘illat syar‘iyyah, bukan yang lain. Walhasil, kekhawatiran akan munculnya fitnah tidak ada bobotnya dalam pensyariatan haramnya menampakkan wajah dan wajibnya menutupinya, karena tidak dinyatakan di dalam syara’.